Monday, March 8, 2010

PERLUNYA REGULASI KEPEMILIKAN RUMAH

Rumah merupakan salah satu dari tiga kebutuhan pokok yang menjadi indikator kesejahteraan seseorang. Seseorang dikatakan sejahtera jika telah terpenuhi kebutuhannya dalam pangan, sandang, dan papan, dan belum bisa dikatakan sejahtera jika ketiganya belum terpenuhi. Saat ini untuk pangan dan sandang hampir semua orang bisa memperolehnya dengan mudah. Semiskin-miskinya orang masih bisa memenuhi kebutuhan pangan dan sandangnya, di sisi lain pemerintah pun telah banyak memiliki regulasi dan kebijakan tentang pangan dan sandang sehingga semua rakyat bisa memperoleh pangan dan sandang dengan murah dan mudah. Sedangkan kebutuhan papan saat ini menjadi kebutuhan paling primer diantara kebutuhan primer yang lainnya, hampir sebagian besar masyarakat ekonomi menengah ke bawah di Indonesia saat ini tidak memiliki rumah. Kesulitan itu diperparah dengan masih minimnya regulasi dan kebijakan pemerintah dalam bidang perumahan yang bisa membantu masyarakat ekonomi menengah ke bawah dapat memiliki rumah dengan mudah dan murah. Regulasi pemerintah saat ini dalam bidang perumahan bagi masyarakat ekonomi ke bawah masih sebatas pada pemberian subsidi bunga KPR yang belum dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Masalah perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah bukan hanya masalah suku bunga KPR semata tetapi adalah kesempatan untuk memperoleh rumah dengan mudah dan murah serta layak.
Kondisi saat ini cenderung terjadi monopoli kepemilikan rumah oleh sebagian kelompok masyarakat yang menjadi salah satu faktor masyarakat ekonomi menengah ke bawah sulit memiliki rumah yang murah dan layak. Sehingga pemerintah saat ini perlu membuat regulasi dan kebijakan yang dapat mencegah semakin berkembangnya monopoli kepemilikan rumah oleh sekelompok masyarakat. Regulasi dan kebijakan tentang kepemilikan rumah ini penting untuk menjamin pemerataan kepemilikan rumah dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Rumah : Kebutuhan dan Investasi
Awalnya rumah bagi sebagian besar orang hanya berfungsi sebagai asset kebutuhan pokok manusia tetapi saat ini rumah telah menjadi asset investasi bagi sebagian masyarakat. Fenomena ini nampak jelas jika kita memperhatikan banyak rumah-rumah kosong tidak berpenghuni, baik perumahan kelas atas maupun kelas bawah. Suatu kondisi yang ironis pada saat ada sebagian besar masyarakat yang belum memiliki rumah banyak rumah-rumah kosong tidak berpenghuni di perumahan karena mereka membeli rumah bukan untuk kebutuhan tetapi untuk investasi.
Pada saat rumah telah berubah menjadi salah satu pilihan investasi bukan sekedar kebutuhan pokok semata, maka rumah menjadi komoditas perdagangan yang paling banyak diminati oleh para investor dan spekulan selain emas saat ini, karena rumah salah satu kebutuhan pokok yang paling dicari saat ini sehingga nilainya cenderung naik dari waktu ke waktu bahkan nilainya melebihi nilai wajarnya. Kondisi tersebut mendorong terjadinya monopoli kepemilikan rumah oleh para investor dan spekulan untuk mengambil keuntungan.ditengah-tengah kebutuhan masyarakat terhadap perumahan yang tinggi. Akibatnya terjadi persaingan yang tidak sehat antara investor/spekulan dengan masyarakat ekonomi menengah ke bawah dan terjadi “buble” atas harga rumah. Perubahan fungsi rumah dari kebutuhan pokok menjadi asset investasi tersebut memicu tindakan monopoli kepemilikan rumah oleh sebagian masyarakat untuk menciptakan keuntungan sehingga memunculkan masalah perumahan bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Urgensi Regulasi Kepemilikan Rumah
Pemerintah perlu segera membuat regulasi dan kebijakan tentang kepemilikan rumah untuk menjamin pemerataan kepemilikan rumah dan mencegah terjadinya monopoli kepemilikan rumah untuk tujuan investasi dan spekulasi. Regulasi tersebut penting untuk mencegah masalah perumahan yang akut dan kerusakan sumber daya alam yang ada akibat semakin meningkatnya kebutuhan rumah karena pertumbuhan penduduk yang tinggi, terbatasnya lahan untuk perumahan, dan tingginya permintaan ekonomi akibat motif investasi.
Regulasi dan kebijakan tersebut harus bisa menjamin masyarakat yang belum memiliki rumah menjadi prioritas utama untuk memperoleh kepemilikan rumah yang murah dan layak, serta mengatur perilaku investasi masyarakat dalam bidang properti agar tidak menimbulkan tindakan monopoli kepemilikan rumah. Regulasi tersebut bisa diawali dengan menyusun aturan yang dapat mendorong perbankan untuk lebih memprioritaskan pemberian KPR bagi kepemilikan rumah yang pertama kali dan memberikan diskon KPR bagi golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan kepemilikan rumah dengan tujuan investasi atau kepemilikan rumah yang kedua, ketiga dan seterusnya bisa dikenakan pajak yang bersifat progresif dan margin atau bunga KPR yang lebih tinggi. Sehingga dengan aturan tersebut bisa mengatur dan membedakan kepemilikan rumah untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pokok atau untuk tujuan investasi, dan aturan tersebut akan meningkatkan pendapatan negara secara adil dari pajak penjualan rumah, yaitu membebankan pajak yang lebih tinggi atas jual beli rumah untuk investasi, karena selama ini pajak jual beli rumah tidak memperhatikan tujuan pembelian rumah, jika perlu pemerintah membebaskan pajak jual beli rumah untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pokok bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Pemerintah daerah juga harus menseleksi secara ketat ijin-ijin bagi para developer dalam membangun perumahan. Pembangunan perumahan oleh developer harus memprioritaskan pada masyarakat yang belum memiliki rumah dan kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Harga perumahan yang ditawarkan oleh para developer harus dinilai secara wajar dan diawasi oleh pemerintah. Pemerintah bisa saja menetapkan harga wajar rumah untuk tujuan kepemilikan yang berbeda, misalkan harga batas atas atau batas bawah bagi kepemilikan rumah untuk investasi dan kepemilikan rumah untuk memenuhi kebutuhan pokok harus dibedakan. Aturan dan kebijakan tersebut penting untuk proses pemerataan perumahan dan mencegah monopoli kepemilikan rumah.
Jika selama ini pemerintah mampu membuat kebijakan harga dalam masalah stabilisasi harga beras maka seharusnya pemerintah saat ini harus mampu merumuskan kebijakan stabilisasi harga rumah untuk tujuan kepemilikan rumah, utamanya bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Hal tersebut penting dan mendesak karena kebutuhan perumahan menjadi kebutuhan yang penting dan mendesak bagi masyarakat, utamanya masyarakat menengah ke bawah. Rumah untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pokok adalah suatu barang untuk publik maka Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) harus melakukan pengawasan terhadap para developer dalam menetapkan harga rumah, karena harga rumah ini lebih penting dari pada harga SMS dari para operator seluler. Tujuan pengawasan oleh KPPU adalah untuk mencegah terjadinya “buble” atas harga rumah akibat spekulasi dan aktivitas investasi yang menyebabkan masyarakat yang membutuhkan perumahan sulit mendapatkan rumah yang layak dan murah.
Regulasi dan kebijakan kepemilikan rumah ini selain penting untuk pemeratan perumahan dan mencegah monopoli kepemilikan rumah oleh orang-orang kaya, juga penting untuk menjaga konservasi alam terutama lahan pertanian dari penggunaan lahan tersebut untuk perumahan. Dan karena fungsi rumah telah berubah bukan sekedar kebutuhan pokok tetapi menjadi alat investasi maka selayaknya pemerintah untuk mengatur agar tidak merugikan kepentingan rakyat.

SINERGISITAS PENGELOLAAN ZAKAT

Indonesia, sebagai negara yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia memiliki potensi zakat cukup besar. Potensi zakat di Indonesia menurut PIRAC mencapai 7,3 triliun rupiah per tahun sedangkan realisasinya hanya 3,3 triliun rupiah per tahun, sedangkan berdasarkan perhitungan FOZ (Forum Zakat) potensi zakat di Indonesia mencapai 17,5 triliun rupiah per tahun dan yang disalurkan melalui lembaga pengelola zakat hanya 350 milyar rupiah per tahun. Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2005 menyebutkan bahwa potensi zakat, infaq, dan shodaqoh di Indonesia mencapai 19,3 triliun rupiah per tahun. Angka-angka tersebut akan semakin bertambah dari tahun ke tahun seiring semakin meningkatnya kesadaran umat Islam di Indonesia untuk membayar zakat, infaq dan shodaqoh, karena saat ini membayar zakat, dan berinfaq telah menjadi life style bagi umat Islam di Indonesia sejak maraknya kajian-kajian tentang keajaiban dan keutamaan berzakat dan berinfaq.
Kondisi besarnya potensi zakat tersebut mendorong tumbuh dan berkembangnya organisasi pengelola zakat di Indonesia, baik dikelola oleh masyarakat maupun pemerintah. Sejak dikeluarkannya UU No. 38 tentang Pengelolaan Zakat tahun 1999 sampai saat ini sudah ada 180 Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang tercatat sebagai anggota FOZ, disamping ada ratusan Badan Amil Zakat (BAZ) yang dikelola oleh pemerintah, serta belum ditambah lagi dengan lembaga amil zakat lainnya yang belum terdaftar dalam anggota FOZ maupun BAZ.
Pertumbuhan dan perkembangan organisasi zakat serta potensi zakat di Indonesia ternyata tidak berbanding lurus dengan penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Terlepas dari kontroversi kevalidan data tentang kemiskinan, angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, kalaupun terjadi penurunan angka kemiskinan maka laju peningkatan penerimaan dana ziswaf (zakat, infaq, shodaqoh, dan wakaf) tidak sebanding dengan laju penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Semakin banyak LAZ/BAZ di Indonesia ternyata angka kemiskinan di Indonesia juga tidak turun secara signifikan. Kondisi ini menyiratkan adanya satu masalah besar atas pengelolaan zakat di Indonesia, yaitu adanya ketidakefektifan pengelolaan zakat di Indonesia. Salah satu upaya yang harus dilaksanakan segera adalah melakukan sinergisitas pengelolaan dana ziswaf yang dikelola oleh berbagai organisasi pengelola zakat di Indonesia
Overlapping Pengelolaan Zakat
Semakin banyaknya lembaga pengelola zakat, baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat, disamping memberikan kontribusi positif bagi perkembangan pengelolaan dana ziswaf di Indonesia, ternyata juga menimbulkan masalah lain yaitu ketidakefektifan dalam pengelolaan dana ziswaf di Indonesia. Ketidakefesienan tersebut muncul karena adanya overlapping dalam pengumpulan dan pendistribusiaan zakat di Indonesia. Overlapping dalam pengumpulan dana ziswaf itu salah satunya nampak dari kurangnya ekstensifikasi obyek muzaki (wajib zakat). Selama ini semua organisasi pengelola zakat cenderung memiliki obyek muzaki yang sama, sehingga kadang kala dalam satu perkantoran dapat kita jumpai seorang muzaki bisa menjadi pembayar zakat pada dua organisasi zakat yang berbeda. Pada umumnya organisasi pengelola zakat di Indonesia pada saat ini hanya fokus pada wajib zakat personal dengan jenis profesi yang homogen dan tempat kerja yang sama, sehingga rentan menimbulkan persaingan yang tidak sehat diantara organisasi pengelola zakat dalam mencari dan mendapatkan muzaki. Akibat yang lain adalah beberapa potensi zakat dan muzaki yang lain, seperti zakat perusahaan dan perdagangan, menjadi terabaikan karena semua organisasi pengelola zakat di Indonesia cenderung mengejar muzaki dari kalangan profesional dan karyawan.
Overlapping yang lain adalah dalam hal pemberdayaan dan pemanfaatan dana ziswaf yang terkumpul. Lemahnya sistem data informasi dan tidak adanya komunikasi antara organisasi pengelola zakat memungkinkan seorang mustahiq zakat (ziswaf) mendapatkan distribusi dana ziswaf dari beberapa organisasi pengelola zakat. Akibatnya organisasi pengelola zakat di Indonesia memiliki kecenderungan untuk saling bersaing dalam program-program dengan obyek mustahiq yang sama, sehingga pemerataan pemberdayaan dana ziswaf tidak bisa terwujud secara optimal.
Overlapping dalam pengelolaan dana ziswaf tersebut terjadi karena di Indonesia belum ada institusi yang dijadikan simpul bagi seluruh organisasi pengelola zakat di Indonesia untuk berkoordinasi dan bersinergi. Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat tidak menyebutkan secara jelas institusi yang menjadi koordinator untuk melakukan koordinasi dan sinergi dalam pengelolaan dana ziswaf, begitu juga institusi tentang pengawasan atas pengelolaan dana ziswaf belum diatur oleh undang-undang tersebut.
Sinergisitas: Antara Solusi dan Masalah
Sinergisitas organisasi pengelola zakat di Indonesia merupakan kunci jawaban atas masalah ketidakefektifan pengelolaan dana zakat di Indonesia selama ini. Sinergitas tersebut akan menjadi salah satu cara untuk mewujudkan keberkahan zakat dalam kehidupan Umat Islam di Indonesia. Ada tiga tahapan penting dalam proses sinergisitas pengelolaan dana zakat di Indonesia. Tahap pertama adalah menentukan institusi yang menjadi simpul komunikasi dan koordinasi menuju sinergisitas organisasi pengelola zakat, tahap kedua adalah melakukan mapping potensi zakat yang ada di Indonesia dan melakukan distribusi tugas pengumpulan dana ziswaf sesuai dengan peta potensi yang ada, dan tahap ketiga adalah mapping program pemberdayaan dana ziswaf sesuai dengan tujuan dan target serta skala prioritas pemberdayaan dana ziswaf di Indonesia.
Kendala utama dalam mencapai sinergisitas adalah melepaskan egoisme kelembagaan dari setiap organisasi pengelola zakat yang ada di Indonesia. Ketiga tahapan tersebut tidak akan bisa terwujud jika masih kuat egoisme kelembagaan organisasi pengelola zakat. Oleh karena itu penentuan institusi yang bisa menjadi simpul koordinasi dan komunikasi untuk dapat bersinergi menjadi titik krusial dalam mewujudkan sinergisitas. Langkah awal tersebut sebenarnya telah dimulai oleh LAZ di Indonesia dengan membentuk FOZ, meskipun sampai saat ini peran FOZ sebagai institusi simpul untuk bersinergi belum efektif karena masih terkendala sifat egoisme kelembagaan organisasi pengelola zakat di Indonesia yang tergabung dalam FOZ. Masalah lain adalah belum ada proses koordinasi dan komunikasi antara LAZ dan BAZ, oleh karena itu perlu adanya suatu institusi yang bisa mewadahi seluruh organisasi pengelola zakat di Indonesia serta mengeliminasi sifat egoisme kelembagaan untuk mencapai sinergisitas pengelolaan zakat di Indonesia.



Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah
Pemerintah dapat mengambil peran dalam memulai membangun sinergisitas dengan menjadi institusi simpul koordinasi dan komunikasi organisasi pengelola zakat di Indonesia yang bersifat netral tanpa harus mengeliminasi atau mematikan peran dari LAZ yang ada. Keinginan pemerintah untuk mengamandemen UU No. 38/1999 untuk menyatukan pengelolaan zakat di bawah pemerintah patut diapresiasi, tetapi jangan sampai keinginan tersebut akan mengeliminasi dan mematikan peran LAZ yang sudah tumbuh dan berkembang saat ini. Oleh karena itu peran pemerintah dalam pengelolaan dana ziswaf di Indonesia harus sebatas sebagai mediator dan koordinator bagi organisasi pengelola zakat di Indonesia serta menjadi pengawas atas pengelolaan dana ziswaf di Indonesia. Sehingga tanggung jawab pemerintah hanya mengkoordinasi, mengkomunikasikan, dan melakukan mapping potensi zakat serta program pemberdayaan zakat agar sinergi dengan program-program pembangunan pemerintah untuk pengurangan kemiskinan, dan menjalankan fungsi pengawasan. Model peran dan tanggung jawab pemerintah seperti tersebut di atas akan tetap menjaga eksistensi dan peran LAZ yang ada, tetapi pengelolaan dana ziswaf secara tidak langsung dibawah pengelolaan, pengaturan, dan pengawasan oleh pemerintah.
Kementrian Zakat dan Wakaf: Langkah Awal Sinergisitas
Pertanyaan berikutnya adalah peran dan tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan dana ziswaf tersebut dilaksanakan oleh siapa?. Selama ini BAZNAS yang berada langsung dibawah presiden akan kurang efektif jika menjalankan fungsi peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai institusi yang mensinergikan organisasi pengelola zakat di Indonesia. Selama ini BAZNAS/BAZDA adalah salah satu institusi pengumpul zakat yang dikelola pemerintah sehingga rentan egoisme kelembagaan akan masih tetap muncul dari organisasi pengelola zakat yang ada.
Alternatif yang dapat diambil sebagai institusi yang dapat menjadi simpul koordinasi dan komunikasi untuk menciptakan sinergisitas pengelolaan dana ziswaf di Indonesia adalah dengan membentuk kementrian Zakat dan Wakaf. Kementrian Zakat dan Wakaf inilah yang berfungsi sebagai rumah bersama bagi seluruh organisasi pengelola zakat di Indonesia untuk bersinergi, baik yang dikelola oleh masyarakat (LAZ) maupun dikelola oleh pemerintah (BAZ). Kementrian Zakat dan Wakaf akan menjadi regulator, koordinator, dan pengawas dalam pengelolaan dana ziswaf di Indonesia. Momentum Ramadhan dan penyusunan kabinet pemerintahan Sby – Boediono akan menjadi langkah awal yang baik untuk membenahi pengelolaan dana ziswaf di Indonesia dengan membentuk Kementrian Zakat dan Wakaf. Pembentukan Kementrian Zakat dan Wakaf dengan fungĂ­s koordinator, regulator, dan pengawasan dalam pengelolaan dana ziswaf di Indonesia akan menjadi win-win solution bagi LAZ maupun BAZ untuk saling bersinergi dengan melepaskan egoisme kelembagaan.
Waallahu’alam bisshowab