Tuesday, January 29, 2013

MENYINGKAP SHARI’A COMPLIANCE BANK SYARIAH DARI LAPORAN KEUANGAN

Kepatuhan syariah (shari’a compliance) saat ini menjadi isu penting bagi stakeholders bank syariah di Indonesia. Banyak kritikan tajam dari masyarakat tentang kepatuhan bank syariah terhadap prinsip-prinsip syariah, bahwa bank syariah di Indonesia saat ini kurang sesuai syariah. Kondisi tersebut boleh jadi sebagai dampak positif dari semakin masifnya sosialisasi tentang perbankan syariah ke masyarakat sehingga masyarakat mulai sadar dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang perbankan syariah. Kritikan tajam mulai muncul ketika masyarakat merasa bahwa terjadi perbedaan antara teori dan praktek. Laporan atau opini Dewan Pengawas Syariah yang selalu dilampirkan dalam laporan keuangan bank syariah seakan-akan belum mampu menjawab kritikan dan rasa penasaran masyarakat tentang sejauh mana praktek perbankan syariah di Indonesia saat ini apakah telah sesuai syariah ? Sehingga informasi tentang kepatuhan syariah (shari’a compliance) seakan-akan menjadi misteri bagi masyarakat yang menyebabkan semakin runcing perdebatan tentang aspek kepatuhan syariah di bank syariah saat ini. Apalagi saat ini masing-masing pihak yang berdebat memiliki dasar hukum sendiri-sendiri, sehingga semakin menjadikan aspek kepatuhan syariah menjadi misteri besar bagi masyarakat, seakan-akan hanya manajemen bank syariah dan Dewan Pengawas Syariah serta Bank Indonesia semata saja yang bisa mengetahui tingkat kepatuhan syariah di bank syariah. Menyingkap Misteri Jika kita perhatikan lebih jeli, maka masyarakat umum para stakeholders bank syariah di Indonesia bisa mengetahui dan mengukur serta menilai sejauh mana operasional bank syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yaitu melalui laporan keuangan bank syariah yang senantiasa dipublikasikan secara periodik. Sesuai dengan tujuan penyusunan laporan keuangan syariah yang dinyatakan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Syariah dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah paragraf 30 menyatakan bahwa tujuan laporan keuangan syariah adalah meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha entitas syariah. Sehingga PSAK Syariah yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) merupakan salah satu alat untuk mengukur dan memastikan serta menilai apakah operasional bisnis dan transaksi bank syariah di Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. PSAK Syariah telah mengidentifikasi ada 12 ciri/karakteristik transaksi syariah dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah paragraf 27 yang harus tercermin dalam laporan keuangan syariah di bank syariah sebagai entitas syariah. Dari keduabelas ciri tersebut paling tidak ada ada tiga ciri yang bisa dianalisis langsung dalam laporan keuangan syariah oleh masyarakat yaitu tidak mengandung unsur riba, tidak mengandung unsur gharar, tidak mengandung unsur haram, dan tidak menganut prinsip nilai waktu uang (time value of money). Laporan keuangan yang bisa digunakan untuk menganalisis kepatuhan syariah suatu bank syariah antara lain: 1. Catatan atas laporan keuangan. Catatan atas laporan keuangan akan memberikan informasi yang detail tentang kebijakan akuntansi yang digunakan serta situasi dan kondisi yang terjadi dalam bank syariah yang bersangkutan serta kebijakan alokasi dan penggunaan dana yang dijalankan oleh bank syariah. Sehingga berdasarkan catatan atas laporan keuangan akan dapat diperoleh gambaran bagaimana manajemen bank syariah mengoperasikan bisnisnya. 2. Laporan laba rugi Prinsip penyusunan dan penyajian laporan laba rugi bank syariah berbeda dengan laporan laba rugi bank konvensional dalam pengukuran pendapatan dan penghitungan labanya. Laporan laba rugi bisa diidentifikasi apakah pendapatan yang dibagi hasilkan dan diperoleh oleh bank syariah bukan berasal dari riba dan pendapatan yang haram. Perhitungan tentang bagi hasil kepada pihak nasabah deposan pun bisa dilihat dari laporan laba rugi yang disusun oleh bank syariah 3. Laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan Kedua laporan tersebut sangat penting untuk mengukur bagaimana pengelolaan dana zakat dan pengelolaan dana-dana non halal yang diperoleh bank syariah selama proses operasional bisnisnya berlangsung. Bahkan dalam PSAK Syariah disebutkan bahwa jika entitas/bank syariah tidak melaksanakan pengumpulan dana zakat dan dana kebajikan maka tetap diwajibkan untuk menyajikan kedua laporan tersebut. Kedua laporan tersebut penting terutama laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan yang digunakan untuk menampung pendapatan-pendapatan non halal yang diterima oleh bank syariah dan tidak boleh diakui sebagai pendapatan bank syariah. 4. Laporan rekonsiliasi pendapatan dan bagi hasil Laporan rekonsiliasi pendapatan dan bagi hasil merupakan konsekwensi yang harus diungkapkan oleh bank syariah sebagai proses konversi pendapatan accrual ke pendapatan cash basis. Pendapatan yang dibagi hasilkan ke nasabah deposan harus merupakan pendapatan cash basis untuk menghindari unsur gharar dalam transaksinya. Menakar Kepatuhan Syariah Untuk mengidentifikasi ada tidaknya bunga dan pendapatan haram lainnya maka bisa dianalisis sumber-sumber pendapatan yang diperoleh bank syariah. Sumber pendapatan yang harus diperhatikan adalah sumber pendapatan bunga yang berasal dari penempatan dana bank syariah di bank konvensional. Berdasarkan PSAK Syariah maka pendapatan bunga dan denda tidak boleh diakui sebagai pendapatan bank syariah, tetapi harus diakui sebagai pendapatan dana kebajikan. Berdasarkan penelitian penulis dari bank umum syariah yang ada saat ini masih ada salah satu bank syariah yang mengakui adanya pendapatan bunga dari penempatan dananya dibank konvensional sebagai pendapatan utama, bahkan termasuk komponen yang dibagi hasilkan kepada nasabah deposan. Atas kejadian tersebut belum ada pengungkapan informasi dari Dewan Pengawas Syariah dan Bank Indonesia mengapa hal tersebut masih dikatakan sesuai syariah dalam opini DPS bank syariah yang bersangkutan yang dilampirkan dalam publikasi laporan keuangan. Identifikasi apakah dalam bank syariah terdapat unsur time value of money dapat dilihat dalam catatan atas laporan keuangan tentang metode akuntansi yang digunakan dalam pengakuan pendapatan margin murabahah. Berdasarkan PSAK Syariah 102 tentang akuntansi murabahah paragraph 23 samapai dengan 25 menyebutkan bahwa pengakuan pendapatan margin murabahah yang diperkenankan adalah secara proporsional. Berdasarkan penelitian penulis, saat ini masih banyak bank syariah yang menggunakan metode anuitas dalam pengakuan pendapatan margin murabahah. Metode anuitas akan menguntungkan bagi bank syariah karena margin murabahah diakui diawal lebih besar dan akan menurun terus sampai pada angsuran terakhir. Sehingga jika metode anuitas masih digunakan dalam pengakuan pendapatan margin murabahah maka bank syariah masih memegang prinsip-prinsip time value of money. Ada atau tidaknya unsur gharar dalam bank syariah bisa diukur dan dianalisis dari laporan rekonsiliasi pendapatan dan bagi hasil. Pendapatan yang dibagihasilkan oleh bank syariah harus bersifat cash basis tidak boleh pendapatan accrual. Ada beberapa bank yang tidak menyajikan laporan rekonsiliasi pendapatan dan bagi hasil sehingga tidak bisa diketahui apakah pendapatan yang dibagihasilkan ke nasabah deposan adalah yang riil ataukah masih accrual. Teknik kedua adalah dengan melihat pengukuran pendapatan yang dibagi hasilkan apakah menggunakan metode revenue sharing atau gross profit sharing ? Jika bank syariah masih menggunakan revenue sharing maka masih ada unsur kedzaliman. Berdasarkan fatwa DSN No.15 Tahun 2000 sistem distribusi bagi hasil yang diperbolehkan adalah gross profit sharing atau profit loss sharing. Teknik selanjutnya dalam menganalisis kepatuhan syariah di bank syariah adalah dengan melihat apakah bank syariah menyajikan laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan. Jika bank syariah tidak menyajikan laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan maka perlu dipertanyakan tentang pengelolaan dana-dana non halal dalam bank syariah tersebut. Begitu juga masyarakat dapat menilai bagaimana pengelolaan dana zakat oleh bank syariah, terutama dalam aspek penyaluran dana zakat apa sesuai dengan syariah atau tidak. Hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan dana zakat adalah dana zakat tidak boleh disalurkan atau digunakan untuk melakukan penghapusan piutang pembiayaan nasabah bank syariah dengan alasan masuk dalam asnaf gharimin. Full Disclosure Jika kita perhatikan lebih detail, dalam praktek seringkali opini DPS bank syariah dibandingkan dengan kebijakan akuntansi serta metode akuntansi yang digunakan seringkali tidak sinkron. Ada kebijakan dan metode akuntansi yang digunakan oleh bank syariah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah tetapi opini DPS menyatakan bahwa keseluruhan operasi dan produk bank syariah telah sesuai syariah tanpa ada penjelasan lebih lanjut dan detail. Seperti dalam kasus ada bank syariah yang dalam laporan keuangannya mengakui pendapatan bunga dari penempatan dana bank syariah di bank konvensional diakui sebagai pendapatan bank syariah, bahkan masuk dalam pendapatan yang didistribusikan ke nasabah deposan, tetapi dalam opini DPS bank syariah yang bersangkutan menyatakan keseluruhan operasional dan produknya telah sesuai syariah, dan tidak diungkapkan kenapa kebijakan tersebut dibenarkan oleh DPS bank syariah yang bersangkutan. Oleh karena itu dimasa yang akan datang perlu pengungkapan secara penuh informasi kepatuhan syariah dari laporan/opini DPS bank syariah. Jika kita melihat dan membaca laporan/opini DPS bank syariah masih bersifat global dan kurang menyajikan informasi yang detail. Untuk meningkatkan kualitas laporan/opini DPS bank syariah perlu disusun laporan/opini DPS bank syariah dengan menggunakan konsep pengungkapan secara penuh (full disclosure principles) sehingga kepatuhan syariah bukan lagi menjadi misteri bagi masyarakat atau stakeholders bank syariah. (Terbit dalam Majalah Sharing, Edisi Januari 2013)

Monday, June 14, 2010

SAMAKAH BANK SYARIAH DENGAN BANK KONVENSIONAL ?

Bank syariah hadir di masyarakat Indonesia pertama kali tahun 1990-an, dan berkembang pesat sejak tahun 2000-an, jadi sudah hampir 20 tahun bank syariah melayani masyarakat Indonesia. Selama dua puluh tahun bank syariah melayani tersebut ternyata masih belum mampu mengubah presepsi dan pemahaman masyarakat terhadap bank syariah, sebagian besar presepsi masyarakat sekarang adalah bank syariah sama dengan bank konvensional. Banyak orang yang mengatakan bahwa bank syariah hanya beda nama, beda istilah transaksi, dan beda pakaian seragam karyawannya dengan bank konvensional. Apa benar demikian ?
Presepsi bahwa bank syariah sama dengan bank konvensional itu disebabkan karena belum ada perubahan paradigma dan perilaku, baik dari masyarakat sebagai konsumen maupun manajemen bank syariah itu sendiri, pada saat melakukan transaksi di bank syariah. Perilaku dan paradigma kita saat berhubungan dengan bank syariah berbeda dengan perilaku dan paradigma kita ketika berhubungan dengan bank konvensional, karena, pertama: dalam bank syariah tidak ada istilah pinjam meminjam uang. Selama ini jika orang pergi ke bank identik dengan aktivitas pinjam meminjam uang, hal tersebut wajar karena bisnis utama bank konvensional adalah mencari keuntungan dari aktivitas pinjam meminjam uang, sedangkan dalam bank syariah tidak diperkenankan mencari keuntungan dari aktivitas pinjam meminjam uang karena hal tersebut termasuk dalam katagori riba. Aktivitas bisnis bank syariah adalah jual beli, sewa menyewa, dan bagi hasil (partnership). Misalkan anda melakukan transaksi KPR rumah di bank konvensional, maka paradigmanya adalah anda sebagai nasabah yang meminjam uang kepada bank untuk beli rumah, sedangkan jika anda melakukan transaksi KPR rumah di bank syariah maka paradigmanya adalah anda sebagai nasabah yang melakukan transaksi pembelian rumah dengan bank, jika KPR di bank konvensional, anda pulang membawa uang, maka KPR di bank syariah anda pulang membawa rumah, jika KPR di bank konvensional, angsuran per bulan yang anda bayar adalah angsuran atas hutang pinjaman uang anda ke bank, tetapi jika KPR di bank syariah, angsuran per bulan yang anda bayar adalah angsuran atas hutang pembelian rumah ke bank. Sekilas nampak sama tetapi sesungguhnya berbeda, KPR di bank konvensional adalah transaksi jual beli rumah antara anda dengan developer sedangkan pihak bank sebagai pemberi pinjaman uang ke anda sebagai nasabah, sedangkan jika KPR di bank syariah maka transaksi jual beli rumah adalah antara anda dengan bank, sedangkan developer hanya sebagai pihak supplier dari bank syariah. Jadi saat anda datang dan bertransaksi di bank syariah maka pilihannya adalah anda mau beli apa, anda mau sewa apa, dan anda mau berbagi hasil atas usaha apa, bukan anda mau pinjam uang berapa, seperti ketika di bank konvensional. Kedua, dalam bank syariah tidak ada istilah bunga atas pokok pinjaman, yang ada adalah berapa harga jualnya, berapa harga sewanya, dan berapa proporsi bagi hasil keuntungan usaha. Setiap kali orang bertransaksi ke bank selalu bertanya berapa rate bunganya, hal tersebut wajar karena aktivitas bisnis bank identik dengan aktivitas pinjam meminjam uang. Sedangkan di bank syariah tidak ada aktivitas bisnis dalam pinjam meminjam uang, karena aktivitas bisnisnya adalah jual beli barang, sewa menyewa barang atau jasa, dan bagi hasil atas keuntungan usaha. Dan kita semua tahu bahwa keuntungan jual beli, keuntungan sewa, dan proporsi bagi hasil keuntungan usaha berbeda dengan prosentase bunga atas pokok pinjaman, beda dari sisi konsep maupun teknik perhitungannya. Ketiga, ketika kita menyimpan dana di bank syariah, utamanya dalam bentuk deposito, maka sesungguhnya kita melakukan kemitraan usaha dengan bank syariah, karena kita akan mendapatkan bagi hasil atas keuntungan usaha dari pengelolaan dana yang dilakukan oleh bank, bank syariah sebagai pengelola dana dan nasabah sebagai pemilik dana. Sehingga besarnya tingkat keuntungan yang kita peroleh sebagai pemilik dana sangat tergantung pada tingkat hasil usaha yang diperoleh bank dari pengelolaan dana milik nasabah. Berbeda ketika kita menyimpan dana di bank konvensional maka sesungguhnya kita melakukan aktivitas pinjam meminjam uang dengan tambahan atas pokoknya (riba). Ketika nasabah menyimpan dananya di bank konvensional maka sesungguhnya nasabah meminjamkan uang/dananya kepada bank, dan mendapatkan tambahan dengan prosentase tertentu dari pokok dana yang dipinjamkan kepada bank tersebut. Sehingga dalam bank konvensional yang terjadi adalah proses hubungan saling mencari keuntungan dari aktivitas pinjam meminjam uang bukan hubungan kemitraan seperti di bank syariah.
Tiga perilaku dan paradigma itulah yang sering kali menyebabkan kita terjebak dalam presepsi bahwa bank syariah sama dengan bank konvensional. Pada saat kita bertransaksi dengan bank syariah maka seyogyanya kita tanggalkan dulu perilaku dan paradigma kita ketika bertransaksi dan berhubungan dengan bank konvensional. Seringkali kita sebagai nasabah pada saat bertransaksi dengan bank syariah, perilaku dan paradigma bank konvensional masih melekat dalam diri kita, begitu juga manajemen bank syariah, terkadang tanpa sadar masih sering menggunakan perilaku dan paradigma bank konvensional dalam memasarkan produk dan jasa bank syariah. Maka tugas kita semua, siapa pun saja, pada saat bertransaksi dan berhubungan dengan bank syariah serta bekerja di bank syariah harus mulai menanggalkan semua perilaku dan paradigma bank konvensional dalam diri kita, agar jelas perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional, karena yang menjadikan bank syariah sama dengan bank konvensional adalah perilaku dan paradigma kita dalam bertransaksi masih menggunakan perilaku dan paradigma bank konvensional, bukan sistem bank syariah itu sendiri.

Thursday, April 22, 2010

MEMBANGUN KEUNGGULAN KOMPETITIF BANK SYARIAH

Konsep bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional secara langsung memberikan keunggulan secara komparatif bagi bank syariah dalam bersaing dengan bank konvensional. Bank syariah memiliki produk-produk perbankan yang uniqe dan terdiferensiasi dengan produk perbankan konvensional serta tidak dapat ditiru oleh bank konvensional. Keunggulan komperatif lainnya adalah bank syariah memiliki segmen pasar yang jelas dan loyalis yang tidak dapat dimiliki oleh bank konvensional. Sehingga keunggulan komperatif tersebut menjadikan industri perbankan syariah menjadi industri yang uniqe dan terdiferensiasi secara jelas dengan industri perbankan konvensional. Ternyata keunggulan komperatif bank syariah tersebut tidak mampu menjadikan bank syariah unggul bersaing dengan bank konvensional. Kondisi tersebut terjadi karena bank syariah belum berhasil membangun keunggulan kompetitif terhadap bank konvesional, sehingga yang muncul adalah kesan di mata konsumen bahwa bank syariah lebih mahal dibandingkan dengan bank konvensional.
Bank Syariah : Price Taker and Follower
Jika bunga menjadi instrument utama bagi bank konvensional untuk memperoleh pendapatan maka pendapatan bank syariah diperoleh dari pendapatan penjualan (murabaha), sewa (ijarah) dan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah). Perbedaan tersebut seharusnya bank syariah memiliki karakteristik yang khas dalam manajemen dana dan operasionalnya. Pada praktiknya, saat ini masih banyak bank syariah dalam melakukan pengelolaan dana dan operasionalnya masih mengacu pada manajemen bank konvensional yang menjadikan bunga sebagai instrumen utama dalam pengelolaan dana dan operasional. Sehingga bank syariah dalam menentukan margin, fee, dan nisbah dalam perhitungannya saat ini masih menggunakan bunga menjadi indikator pembanding dan penentu dalam menetapkan margin, fee, dan nisbah. Manajemen resiko bank syariah pun masih mengacu pada indikator-indikator bunga yang berlaku dalam bank konvensional, begitu juga beberapa aspek operasional bank syariah masih menggunakan prinsip-prinsip manajemen bank konvensional.
Kondisi tersebut menjadikan bank syariah selalu dalam posisi sebagai price taker dalam konteks persaingan dengan bank konvensional. Tingkat suku bunga yang selama ini ditetapkan oleh Bank Indonesia selalu mengacu pada kondisi bank-bank konvensional, atau dengan kata lain, tingkat suku bunga ditentukan oleh bank konvensional. Kondisi tersebut akan menjadikan bank syariah hanya sebagai follower bank konvensional, karena bank syariah tidak bisa menjadi price maker. Posisi bank syariah sebagai price taker dan follower bank konvensional tersebut disebabkan oleh empat faktor: pertama, regulasi Bank Indonesia dalam masalah manajemen resiko, kolektibilitas, atau pun regulasi lainnya untuk pengelolaan bank syariah tidak dibedakan dengan bank konvensional, akibatnya bank syariah tidak bisa menunjukan ke keunikannya yang bisa menjadi keunggulan kompetitif bank syariah untuk bersaing dengan bank konvensional. Kedua, produk-produk bank syariah yang dikembangkan saat ini masih merupakan imitasi produk-produk bank konvensional, sehingga belum nampak keunggulan kompetitif bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional karena keunikan produk bank syariah belum nampak. Ketiga, manajemen bank syariah masih menggunakan paradigma dan filosofi konvensional dalam mengoperasionalkan bank syariah, sehingga secara tidak langsung bank syariah akan selalu mencontoh dan mengikuti bank konvensional. Keempat, masyarakat/konsumen bank syariah masih membandingkan tingkat imbal bagi hasil atas simpanannya dengan tingkat suku bunga, kondisi ini menimbulkan dilemma pemasaran bagi manajemen bank syariah sehingga mendorong manajemen bank syariah untuk senantiasa mengikuti bank konvensional.
Selama bank syariah posisinya hanya sebagai price taker dan follower terhadap bank konvensional maka bank syariah akan tetap tidak bisa bersaing dengan bank konvensional. Keunggulan kompetitif akan dimiliki oleh bank syariah jika bank syariah mampu menjadi price maker dan menggunakan konsep syariah secara utuh dalam menjalankan operasi dan manajemen bank syariah.
Merentas Jalan Keunggulan Kompetitif
Keunggulan bank syariah tidak terlepas dari keunggulan syariah Islam yang bersifat komprehensif, universal, dan humanis sebagai landasan utama operasionalisasi bank syariah. Aturan-aturan yang ada dalam syariah Islam secara alamiah memberikan nilai-nilai keunggulan secara komperatif dan kompetitif bagi bank syariah untuk memenangkan persaingan dengan bank konvensional. Oleh karena itu keunggulan kompetitif bank syariah akan bisa terwujud jika regulasi, pelaksana (manajemen bank syariah), dan masyarakat (nasabah) mau dan mampu melaksanakan syariah Islam secara benar dalam muamalahnya. Sehingga bangunan keunggulan kompetitif bank syariah harus diawali oleh Bank Indonesia sebagai regulator perbankan di Indonesia dengan membuat regulasi dan kebijakan yang spesifik dan khusus bagi bank syariah serta sesuai dengan filosofi bank syariah. Selama ini kebijakan dan regulasi tentang bank syariah masih belum memposisikan secara jelas bank syariah sebagai suatu industri keuangan yang memiliki karakteristik unik dibandingkan dengan bank konvensional. Aturan dan regulasi yang mengikat bank syariah selama ini masih memandang bank syariah sama dengan bank konvensioanl yaitu sebagai lembaga keuangan penghimpun dan penyalur dana semata, padahal aktivitas perbankan syariah tidak hanya aktivitas perbankan murni tetapi juga aktivitas perdagangan barang, aktivitas konstruksi serta aktivitas sektor riil lainnya. Jika aturan dan kebijakan Bank Indonesia serta aturan-aturan lain tentang bank syariah masih menggunakan filosofi bank konvensional maka akan menyandera bank syariah untuk senantiasa menjadi price taker dan follower.
Bank syariah akan memiliki keunggulan kompetitif jika bank syariah menjadi price maker dan challanger terhadap bank konvensional. Kondisi tersebut terjadi jika Bank Indonesia memperjelas posisi bank syariah sebagai suatu industri keuangan yang berbeda dengan bank konvensional, dan seluruh regulasi dan kebijakan tentang bank syariah disusun berdasarkan filosofi dasar dari bank syariah. Manajemen bank syariah sendiri harus segera mengubah prinsip pengelolaan dana dan operasional bank syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah baik produk maupun non produk. Selama ini beberapa manajemen bank syariah masih mempertimbankan masalah cost of fund dalam pengelolaan dana, yang sebenarnya tidak ada konsep cost of fund dalam bank syariah, sehingga tidak berani untuk menurunkan margin dan fee serta nisbah bagi hasil di bawah tingkat suku bunga, dan kecenderungan untuk sama atau lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku.
Keunggulan kompetitif bank syariah juga akan terwujud jika bank syariah mampu membuat produk-produk yang bukan imitasi dari produk bank konvensional. Saat ini masih banyak produk-produk perbankan syariah merupakan hasil imitasi produk bank konvensional sehingga banyak penggunaan akad-akad yang tidak sesuai atau kurang pas dengan kebutuhan nasabah dan terkesan dipaksakan, akibatnya keunggulan kompetitif bank syariah belum nampak bahkan bisa menghilangkan keunggulan komperatif bank syariah karena konsumen menganggap bank syariah sama dengan bank konvensional.
Penutup
Bank syariah saat ini masih belum bisa unggul bersaing dengan bank konvensional karena masih ter-”sandera” dengan aturan dan kebijakan yang mengatur bank syariah semuanya belum sesuai dengan filosofi dasar bank syariah karena aturan dan regulasinya masih menggunakan filosofi bank konvensional, akibatnya mendorong manajemen bank syariah untuk mengelola operasional bank syariah berdasarkan prinsip-prinsip manajemen bank konvensional yang menjadikan bank syariah hanya sebagai price taker dan follower dalam persaingan dengan bank konvensional. Kondisi tersebut menyebabkan bank syariah kehilangan keunggulan kompetitif yang dimiliki sebagai suatu industri keuangan yang memiliki keunggulan komperatif dan kompetitif yang unik dan khas dibandingkan dengan bank konvensional. Keunggulan kompetitif dan komperatif bank syariah akan terwujud jika regulasi dan kebijakan serta manajerial bank syariah didasarkan pada prinsip-prinsip syariah yang bisa menjamin bank syariah beroperasional sesuai dengan filosofi dan karakter dasar bank syariah yang uniqe.

(Dimuat dalam majalah Sharing, edisi April 2010)

Thursday, April 8, 2010

KENAPA BANK SYARIAH KALAH BERSAING ?

Bank syariah di Indonesia sejak tahun 2000 -an telah menjadi satu industri keuangan yang sedang tumbuh berkembang dan menarik perhatian investor dan masyarakat. Perkembangan bank syariah untuk saat ini di Indonesia hanya sebatas pada bertambahnya bank umum syariah dan unit usaha syariah, tidak diimbangi dengan berkembangnya market share-nya. Target market share 5% pada tahun 2008 ternyata tidak tercapai, sampai awal tahun 2010 market share bank syariah hanya sekitar 2% saja. Fenomena ini menunjukkan bahwa bank syariah masih kalah bersaing dengan bank konvensional.
Bank syariah sebagai satu industri baru sebenarnya memiliki keunggulan bersaing dengan bank konvensional, baik keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Pada awal berkembangnya bank syariah di Indonesia keunggulan komperatif bank syariah lebih menonjol dibandingkan bank konvensional sehingga sebagai suatu produk keuangan baru memiliki daya tarik yang cukup kuat bagi konsumen. Perkembangan selanjutnya bank syariah berupaya untuk membangun keunggulan kompetetifnya agar bisa menarik konsumen lebih banyak lagi. Saat target market share 5% dicanangkan pada tahun 2008, bank syariah berupaya untuk membangun keunggulan kompetitifnya, meskipun pada akhirnya bank syariah belum bisa mencapai target market share 5% tersebut sampai tahun 2010.
Kegagalan bank syariah mencapai target market share 5% merupakan gejala bahwa bank syariah masih kalah bersaing dengan bank konvensional. Ketidakmampuan bank syariah dalam bersaing dengan bank syariah disebabkan tidak terkelolanya dengan baik keunggulan komperatif dan kompetitif yang dimiliki bank syariah. Kondisi tersebut disebakan oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah regulasi Bank Indonesia, hukum positif, dan masyarakat. Bank Indonesia dalam membuat regulasi untuk bank syariah tidak memperhatikan karakteristik khas bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional, banyak aturan-aturan BI untuk bank konvensional diberlakukan pula untuk bank syariah, misalkan tentang kebijakan PPAP Aktiva Produktif dan Non Produktif, serta aturan dan kebijakan tentang manajemen resiko di bank syariah banyak mengacu pada aturan-aturan bank konvensional. Begitu juga jika kita melihat Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 4 ayat 1 masih menyamakan bank syariah dengan bank konvensional, yaitu sebagai lembaga penyalur dan penghimpun dana semata sehingga karakteristik dan filosofi bank syariah tereliminasi. Hukum perdata pun masih sering bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum syariah, dan seringkali perbankan syariah masih mengutamakan hukum perdata dalam pembuatan akta notaries atau pencampuran antara hukum perdata dan hukum syariah sehingga ke-uniq-an bank syariah menjadi hilang..
Masyarakat secara tidak langsung juga menyebabkan keunggulan komperatif dan kompetitif bank syariah menjadi lemah. Masyarakat dalam menggunakan jasa perbankan syariah masih berperilaku sama seperti saat menggunakan jasa perbankan konvensional. Kondisi tersebut mendorong bagian pemasaran bank syariah dalam memasarkan produknya menyamakan dengan bank konvensional sebagai upaya simplikasi untuk memahamkan suatu produk bank syariah kepada nasabah. Seharusnya pengenalan produk bank syariah kepada masyarakat harus diiringi dengan proses edukasi kepada masyarakat untuk mengubah perilakunya saat menggunakan jasa dan produk bank syariah, sehingga keunggulan komperatif dan kompetitif bank syariah akan nampak.
Faktor internal yang menyebabkan keunggulan komperatif dan kompetitif bank syariah melemah adalah manajemen bank syariah itu sendiri. Secara umum manajemen bank syariah masih menggunakan pola-pola manajemen bank konvensional. Hal tersebut terjadi karena banyak aturan dan kebijakan Bank Indonesia untuk bank syariah yang mengacu dengan bank konvensional. Penentuan margin, fee, dan nisbah bank syariah masih menggunakan tingkat suku bunga sebagai indikator pembanding bagi manajemen bank syariah dalam membuat keputusan ekonomis. Manajemen bank syariah sendiri banyak mengukur kinerjanya dengan membandingkan kinerja bank konvensional terutama membandingkan imbal jasa simpanan bank syariah dengan bank konvensional.



Bank Syariah: Follower and Price Taker
Akibat kedua kondisi tersebut menyebabkan bank syariah hanya akan menjadi follower dan price taker semata. Peraturan dan kebijakan BI untuk bank syariah selama ini mendorong manajemen bank syariah untuk melakukan pengelolaan bank syariah sesuai dengan standar-standar kinerja bank konvensional, akibatnya bank syariah akan senantiasa mengacu dan meniru bank konvensional. Kondisi tersebut akan senantiasa menjadikan bank syariah sebagai follower bank konvensional yang telah menjadi market leader dalam industri keuangan, padahal bank syariah dengan keunikan dan karakteristik khas-nya bisa menjadi challenger bagi bank konvensional untuk merebut pangsa pasar dalam industri keuangan. Selama bank syariah ditempatkan sebagai follower maka bank syariah tidak akan bisa mengungguli bank konvensional, kalau pun bisa akan membutuhkan usaha yang besar agar keunggulan komparatif dan kompetitifnya nampak di mata konsumen.
Selain sebagai follower, bank syariah selama ini senantiasa menjadi price taker dalam persaingan dengan bank konvensional. Penetapan harga barang yang dijual ke nasabah melalau pembiayaan murabaha, penetapan fee sewa (ujrah), dan nisbah bagi hasil selalu menggunakan tingkat suku bunga sebagai dasar dan metode menetapan nilai pasar atas harga barang, ujrah, dan nisbah. Padahal selama ini tingkat suku bunga dikendalikan oleh bank-bank konvensional bukan oleh bank syariah. Akibatnya bank syariah hanya sekedar pengguna informasi bukan penghasil informasi yang dapat digunakan dalam menentukan nilai wajar pasar saat itu. Maka selama bank syariah hanya sebagai price taker bukan price maker dalam persaingan dengan bank konvensional maka bank syariah tidak akan bisa bersaing secara kompetitif dengan bank konvensional. Seharusnya bank syariah membentuk sistem informasi tersendiri yang terlepas dengan bank konvensional untuk digunakan sebagai dasar penetapan nilai pasar atas transaksi-transaksi jual beli, sewa, dan partnership.
Kembali Ke Jati Diri
Selama ini publik, pelaku, dan regulator masih berpresepsi bahwa bank syariah adalah “adik” dari bank konvensional. Sehingga segala sesuatu yang terkait dengan pengelolaan bank syariah masih mengacu pada ”sang kakak” yaitu bank konvensional. Padahal secara filosofi dasarnya bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Bank syariah bukan ”adik” bank konvensional tetapi satu institusi baru yang berbeda ”rahim” dengan bank konvensional. Maka seharusnya regulator harus menempatkan posisi bank syariah sesuai dengan karakteristik dan filosofi dasar bank syariah, yaitu dengan membuat dan menyusun kebijakan dan regulasi tentang bank syariah yang bersumber pada jati diri bank syariah sesungguhnya. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa banyak regulasi atau hukum positif yang berlaku dan mengatur bank syariah yang menyebabkan bank syariah kehilangan jati diri, dan mendorong manajemen bank syariah untuk ”berselingkuh” atau mengambil ”tikungan” untuk mensiasati perbedaan antara aturan syariah dan regulasi (hukum positif).
Jika pemerintah serius menjadikan bank syariah menjadi salah satu industri unggulan dalam bidang keuangan di Indonesia maka pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia harus berani melepaskan aturan-aturan perbankan konvensional yang berlaku di bank syariah, dan mengganti dengan aturan dan kebijakan yang sesuai dengan jati diri bank syariah. Selama bank syariah masih menggunakan aturan dan kebijakan yang berlaku di bank konvensional maka bank syariah akan ter”sandera” untuk tetap menjadi follower dan price taker sehingga tidak akan mampu bersaing dengan bank konvensional. Apakah itu yang diinginkan pemerintah...?
Waallahu’alam bisshowab.

Monday, March 8, 2010

PERLUNYA REGULASI KEPEMILIKAN RUMAH

Rumah merupakan salah satu dari tiga kebutuhan pokok yang menjadi indikator kesejahteraan seseorang. Seseorang dikatakan sejahtera jika telah terpenuhi kebutuhannya dalam pangan, sandang, dan papan, dan belum bisa dikatakan sejahtera jika ketiganya belum terpenuhi. Saat ini untuk pangan dan sandang hampir semua orang bisa memperolehnya dengan mudah. Semiskin-miskinya orang masih bisa memenuhi kebutuhan pangan dan sandangnya, di sisi lain pemerintah pun telah banyak memiliki regulasi dan kebijakan tentang pangan dan sandang sehingga semua rakyat bisa memperoleh pangan dan sandang dengan murah dan mudah. Sedangkan kebutuhan papan saat ini menjadi kebutuhan paling primer diantara kebutuhan primer yang lainnya, hampir sebagian besar masyarakat ekonomi menengah ke bawah di Indonesia saat ini tidak memiliki rumah. Kesulitan itu diperparah dengan masih minimnya regulasi dan kebijakan pemerintah dalam bidang perumahan yang bisa membantu masyarakat ekonomi menengah ke bawah dapat memiliki rumah dengan mudah dan murah. Regulasi pemerintah saat ini dalam bidang perumahan bagi masyarakat ekonomi ke bawah masih sebatas pada pemberian subsidi bunga KPR yang belum dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Masalah perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah bukan hanya masalah suku bunga KPR semata tetapi adalah kesempatan untuk memperoleh rumah dengan mudah dan murah serta layak.
Kondisi saat ini cenderung terjadi monopoli kepemilikan rumah oleh sebagian kelompok masyarakat yang menjadi salah satu faktor masyarakat ekonomi menengah ke bawah sulit memiliki rumah yang murah dan layak. Sehingga pemerintah saat ini perlu membuat regulasi dan kebijakan yang dapat mencegah semakin berkembangnya monopoli kepemilikan rumah oleh sekelompok masyarakat. Regulasi dan kebijakan tentang kepemilikan rumah ini penting untuk menjamin pemerataan kepemilikan rumah dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Rumah : Kebutuhan dan Investasi
Awalnya rumah bagi sebagian besar orang hanya berfungsi sebagai asset kebutuhan pokok manusia tetapi saat ini rumah telah menjadi asset investasi bagi sebagian masyarakat. Fenomena ini nampak jelas jika kita memperhatikan banyak rumah-rumah kosong tidak berpenghuni, baik perumahan kelas atas maupun kelas bawah. Suatu kondisi yang ironis pada saat ada sebagian besar masyarakat yang belum memiliki rumah banyak rumah-rumah kosong tidak berpenghuni di perumahan karena mereka membeli rumah bukan untuk kebutuhan tetapi untuk investasi.
Pada saat rumah telah berubah menjadi salah satu pilihan investasi bukan sekedar kebutuhan pokok semata, maka rumah menjadi komoditas perdagangan yang paling banyak diminati oleh para investor dan spekulan selain emas saat ini, karena rumah salah satu kebutuhan pokok yang paling dicari saat ini sehingga nilainya cenderung naik dari waktu ke waktu bahkan nilainya melebihi nilai wajarnya. Kondisi tersebut mendorong terjadinya monopoli kepemilikan rumah oleh para investor dan spekulan untuk mengambil keuntungan.ditengah-tengah kebutuhan masyarakat terhadap perumahan yang tinggi. Akibatnya terjadi persaingan yang tidak sehat antara investor/spekulan dengan masyarakat ekonomi menengah ke bawah dan terjadi “buble” atas harga rumah. Perubahan fungsi rumah dari kebutuhan pokok menjadi asset investasi tersebut memicu tindakan monopoli kepemilikan rumah oleh sebagian masyarakat untuk menciptakan keuntungan sehingga memunculkan masalah perumahan bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Urgensi Regulasi Kepemilikan Rumah
Pemerintah perlu segera membuat regulasi dan kebijakan tentang kepemilikan rumah untuk menjamin pemerataan kepemilikan rumah dan mencegah terjadinya monopoli kepemilikan rumah untuk tujuan investasi dan spekulasi. Regulasi tersebut penting untuk mencegah masalah perumahan yang akut dan kerusakan sumber daya alam yang ada akibat semakin meningkatnya kebutuhan rumah karena pertumbuhan penduduk yang tinggi, terbatasnya lahan untuk perumahan, dan tingginya permintaan ekonomi akibat motif investasi.
Regulasi dan kebijakan tersebut harus bisa menjamin masyarakat yang belum memiliki rumah menjadi prioritas utama untuk memperoleh kepemilikan rumah yang murah dan layak, serta mengatur perilaku investasi masyarakat dalam bidang properti agar tidak menimbulkan tindakan monopoli kepemilikan rumah. Regulasi tersebut bisa diawali dengan menyusun aturan yang dapat mendorong perbankan untuk lebih memprioritaskan pemberian KPR bagi kepemilikan rumah yang pertama kali dan memberikan diskon KPR bagi golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan kepemilikan rumah dengan tujuan investasi atau kepemilikan rumah yang kedua, ketiga dan seterusnya bisa dikenakan pajak yang bersifat progresif dan margin atau bunga KPR yang lebih tinggi. Sehingga dengan aturan tersebut bisa mengatur dan membedakan kepemilikan rumah untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pokok atau untuk tujuan investasi, dan aturan tersebut akan meningkatkan pendapatan negara secara adil dari pajak penjualan rumah, yaitu membebankan pajak yang lebih tinggi atas jual beli rumah untuk investasi, karena selama ini pajak jual beli rumah tidak memperhatikan tujuan pembelian rumah, jika perlu pemerintah membebaskan pajak jual beli rumah untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pokok bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Pemerintah daerah juga harus menseleksi secara ketat ijin-ijin bagi para developer dalam membangun perumahan. Pembangunan perumahan oleh developer harus memprioritaskan pada masyarakat yang belum memiliki rumah dan kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Harga perumahan yang ditawarkan oleh para developer harus dinilai secara wajar dan diawasi oleh pemerintah. Pemerintah bisa saja menetapkan harga wajar rumah untuk tujuan kepemilikan yang berbeda, misalkan harga batas atas atau batas bawah bagi kepemilikan rumah untuk investasi dan kepemilikan rumah untuk memenuhi kebutuhan pokok harus dibedakan. Aturan dan kebijakan tersebut penting untuk proses pemerataan perumahan dan mencegah monopoli kepemilikan rumah.
Jika selama ini pemerintah mampu membuat kebijakan harga dalam masalah stabilisasi harga beras maka seharusnya pemerintah saat ini harus mampu merumuskan kebijakan stabilisasi harga rumah untuk tujuan kepemilikan rumah, utamanya bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Hal tersebut penting dan mendesak karena kebutuhan perumahan menjadi kebutuhan yang penting dan mendesak bagi masyarakat, utamanya masyarakat menengah ke bawah. Rumah untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pokok adalah suatu barang untuk publik maka Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) harus melakukan pengawasan terhadap para developer dalam menetapkan harga rumah, karena harga rumah ini lebih penting dari pada harga SMS dari para operator seluler. Tujuan pengawasan oleh KPPU adalah untuk mencegah terjadinya “buble” atas harga rumah akibat spekulasi dan aktivitas investasi yang menyebabkan masyarakat yang membutuhkan perumahan sulit mendapatkan rumah yang layak dan murah.
Regulasi dan kebijakan kepemilikan rumah ini selain penting untuk pemeratan perumahan dan mencegah monopoli kepemilikan rumah oleh orang-orang kaya, juga penting untuk menjaga konservasi alam terutama lahan pertanian dari penggunaan lahan tersebut untuk perumahan. Dan karena fungsi rumah telah berubah bukan sekedar kebutuhan pokok tetapi menjadi alat investasi maka selayaknya pemerintah untuk mengatur agar tidak merugikan kepentingan rakyat.

SINERGISITAS PENGELOLAAN ZAKAT

Indonesia, sebagai negara yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia memiliki potensi zakat cukup besar. Potensi zakat di Indonesia menurut PIRAC mencapai 7,3 triliun rupiah per tahun sedangkan realisasinya hanya 3,3 triliun rupiah per tahun, sedangkan berdasarkan perhitungan FOZ (Forum Zakat) potensi zakat di Indonesia mencapai 17,5 triliun rupiah per tahun dan yang disalurkan melalui lembaga pengelola zakat hanya 350 milyar rupiah per tahun. Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2005 menyebutkan bahwa potensi zakat, infaq, dan shodaqoh di Indonesia mencapai 19,3 triliun rupiah per tahun. Angka-angka tersebut akan semakin bertambah dari tahun ke tahun seiring semakin meningkatnya kesadaran umat Islam di Indonesia untuk membayar zakat, infaq dan shodaqoh, karena saat ini membayar zakat, dan berinfaq telah menjadi life style bagi umat Islam di Indonesia sejak maraknya kajian-kajian tentang keajaiban dan keutamaan berzakat dan berinfaq.
Kondisi besarnya potensi zakat tersebut mendorong tumbuh dan berkembangnya organisasi pengelola zakat di Indonesia, baik dikelola oleh masyarakat maupun pemerintah. Sejak dikeluarkannya UU No. 38 tentang Pengelolaan Zakat tahun 1999 sampai saat ini sudah ada 180 Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang tercatat sebagai anggota FOZ, disamping ada ratusan Badan Amil Zakat (BAZ) yang dikelola oleh pemerintah, serta belum ditambah lagi dengan lembaga amil zakat lainnya yang belum terdaftar dalam anggota FOZ maupun BAZ.
Pertumbuhan dan perkembangan organisasi zakat serta potensi zakat di Indonesia ternyata tidak berbanding lurus dengan penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Terlepas dari kontroversi kevalidan data tentang kemiskinan, angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, kalaupun terjadi penurunan angka kemiskinan maka laju peningkatan penerimaan dana ziswaf (zakat, infaq, shodaqoh, dan wakaf) tidak sebanding dengan laju penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Semakin banyak LAZ/BAZ di Indonesia ternyata angka kemiskinan di Indonesia juga tidak turun secara signifikan. Kondisi ini menyiratkan adanya satu masalah besar atas pengelolaan zakat di Indonesia, yaitu adanya ketidakefektifan pengelolaan zakat di Indonesia. Salah satu upaya yang harus dilaksanakan segera adalah melakukan sinergisitas pengelolaan dana ziswaf yang dikelola oleh berbagai organisasi pengelola zakat di Indonesia
Overlapping Pengelolaan Zakat
Semakin banyaknya lembaga pengelola zakat, baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat, disamping memberikan kontribusi positif bagi perkembangan pengelolaan dana ziswaf di Indonesia, ternyata juga menimbulkan masalah lain yaitu ketidakefektifan dalam pengelolaan dana ziswaf di Indonesia. Ketidakefesienan tersebut muncul karena adanya overlapping dalam pengumpulan dan pendistribusiaan zakat di Indonesia. Overlapping dalam pengumpulan dana ziswaf itu salah satunya nampak dari kurangnya ekstensifikasi obyek muzaki (wajib zakat). Selama ini semua organisasi pengelola zakat cenderung memiliki obyek muzaki yang sama, sehingga kadang kala dalam satu perkantoran dapat kita jumpai seorang muzaki bisa menjadi pembayar zakat pada dua organisasi zakat yang berbeda. Pada umumnya organisasi pengelola zakat di Indonesia pada saat ini hanya fokus pada wajib zakat personal dengan jenis profesi yang homogen dan tempat kerja yang sama, sehingga rentan menimbulkan persaingan yang tidak sehat diantara organisasi pengelola zakat dalam mencari dan mendapatkan muzaki. Akibat yang lain adalah beberapa potensi zakat dan muzaki yang lain, seperti zakat perusahaan dan perdagangan, menjadi terabaikan karena semua organisasi pengelola zakat di Indonesia cenderung mengejar muzaki dari kalangan profesional dan karyawan.
Overlapping yang lain adalah dalam hal pemberdayaan dan pemanfaatan dana ziswaf yang terkumpul. Lemahnya sistem data informasi dan tidak adanya komunikasi antara organisasi pengelola zakat memungkinkan seorang mustahiq zakat (ziswaf) mendapatkan distribusi dana ziswaf dari beberapa organisasi pengelola zakat. Akibatnya organisasi pengelola zakat di Indonesia memiliki kecenderungan untuk saling bersaing dalam program-program dengan obyek mustahiq yang sama, sehingga pemerataan pemberdayaan dana ziswaf tidak bisa terwujud secara optimal.
Overlapping dalam pengelolaan dana ziswaf tersebut terjadi karena di Indonesia belum ada institusi yang dijadikan simpul bagi seluruh organisasi pengelola zakat di Indonesia untuk berkoordinasi dan bersinergi. Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat tidak menyebutkan secara jelas institusi yang menjadi koordinator untuk melakukan koordinasi dan sinergi dalam pengelolaan dana ziswaf, begitu juga institusi tentang pengawasan atas pengelolaan dana ziswaf belum diatur oleh undang-undang tersebut.
Sinergisitas: Antara Solusi dan Masalah
Sinergisitas organisasi pengelola zakat di Indonesia merupakan kunci jawaban atas masalah ketidakefektifan pengelolaan dana zakat di Indonesia selama ini. Sinergitas tersebut akan menjadi salah satu cara untuk mewujudkan keberkahan zakat dalam kehidupan Umat Islam di Indonesia. Ada tiga tahapan penting dalam proses sinergisitas pengelolaan dana zakat di Indonesia. Tahap pertama adalah menentukan institusi yang menjadi simpul komunikasi dan koordinasi menuju sinergisitas organisasi pengelola zakat, tahap kedua adalah melakukan mapping potensi zakat yang ada di Indonesia dan melakukan distribusi tugas pengumpulan dana ziswaf sesuai dengan peta potensi yang ada, dan tahap ketiga adalah mapping program pemberdayaan dana ziswaf sesuai dengan tujuan dan target serta skala prioritas pemberdayaan dana ziswaf di Indonesia.
Kendala utama dalam mencapai sinergisitas adalah melepaskan egoisme kelembagaan dari setiap organisasi pengelola zakat yang ada di Indonesia. Ketiga tahapan tersebut tidak akan bisa terwujud jika masih kuat egoisme kelembagaan organisasi pengelola zakat. Oleh karena itu penentuan institusi yang bisa menjadi simpul koordinasi dan komunikasi untuk dapat bersinergi menjadi titik krusial dalam mewujudkan sinergisitas. Langkah awal tersebut sebenarnya telah dimulai oleh LAZ di Indonesia dengan membentuk FOZ, meskipun sampai saat ini peran FOZ sebagai institusi simpul untuk bersinergi belum efektif karena masih terkendala sifat egoisme kelembagaan organisasi pengelola zakat di Indonesia yang tergabung dalam FOZ. Masalah lain adalah belum ada proses koordinasi dan komunikasi antara LAZ dan BAZ, oleh karena itu perlu adanya suatu institusi yang bisa mewadahi seluruh organisasi pengelola zakat di Indonesia serta mengeliminasi sifat egoisme kelembagaan untuk mencapai sinergisitas pengelolaan zakat di Indonesia.



Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah
Pemerintah dapat mengambil peran dalam memulai membangun sinergisitas dengan menjadi institusi simpul koordinasi dan komunikasi organisasi pengelola zakat di Indonesia yang bersifat netral tanpa harus mengeliminasi atau mematikan peran dari LAZ yang ada. Keinginan pemerintah untuk mengamandemen UU No. 38/1999 untuk menyatukan pengelolaan zakat di bawah pemerintah patut diapresiasi, tetapi jangan sampai keinginan tersebut akan mengeliminasi dan mematikan peran LAZ yang sudah tumbuh dan berkembang saat ini. Oleh karena itu peran pemerintah dalam pengelolaan dana ziswaf di Indonesia harus sebatas sebagai mediator dan koordinator bagi organisasi pengelola zakat di Indonesia serta menjadi pengawas atas pengelolaan dana ziswaf di Indonesia. Sehingga tanggung jawab pemerintah hanya mengkoordinasi, mengkomunikasikan, dan melakukan mapping potensi zakat serta program pemberdayaan zakat agar sinergi dengan program-program pembangunan pemerintah untuk pengurangan kemiskinan, dan menjalankan fungsi pengawasan. Model peran dan tanggung jawab pemerintah seperti tersebut di atas akan tetap menjaga eksistensi dan peran LAZ yang ada, tetapi pengelolaan dana ziswaf secara tidak langsung dibawah pengelolaan, pengaturan, dan pengawasan oleh pemerintah.
Kementrian Zakat dan Wakaf: Langkah Awal Sinergisitas
Pertanyaan berikutnya adalah peran dan tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan dana ziswaf tersebut dilaksanakan oleh siapa?. Selama ini BAZNAS yang berada langsung dibawah presiden akan kurang efektif jika menjalankan fungsi peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai institusi yang mensinergikan organisasi pengelola zakat di Indonesia. Selama ini BAZNAS/BAZDA adalah salah satu institusi pengumpul zakat yang dikelola pemerintah sehingga rentan egoisme kelembagaan akan masih tetap muncul dari organisasi pengelola zakat yang ada.
Alternatif yang dapat diambil sebagai institusi yang dapat menjadi simpul koordinasi dan komunikasi untuk menciptakan sinergisitas pengelolaan dana ziswaf di Indonesia adalah dengan membentuk kementrian Zakat dan Wakaf. Kementrian Zakat dan Wakaf inilah yang berfungsi sebagai rumah bersama bagi seluruh organisasi pengelola zakat di Indonesia untuk bersinergi, baik yang dikelola oleh masyarakat (LAZ) maupun dikelola oleh pemerintah (BAZ). Kementrian Zakat dan Wakaf akan menjadi regulator, koordinator, dan pengawas dalam pengelolaan dana ziswaf di Indonesia. Momentum Ramadhan dan penyusunan kabinet pemerintahan Sby – Boediono akan menjadi langkah awal yang baik untuk membenahi pengelolaan dana ziswaf di Indonesia dengan membentuk Kementrian Zakat dan Wakaf. Pembentukan Kementrian Zakat dan Wakaf dengan fungĂ­s koordinator, regulator, dan pengawasan dalam pengelolaan dana ziswaf di Indonesia akan menjadi win-win solution bagi LAZ maupun BAZ untuk saling bersinergi dengan melepaskan egoisme kelembagaan.
Waallahu’alam bisshowab

Saturday, June 20, 2009

PENGEMBANGAN SISTEM PEGADAIAN SYARIAH UNTUK PEMBIAYAAN KONSUMTIF MASYARAKAT MISKIN DENGAN SKEMA AKAD RAHN

Abstract
Masyarakat miskin merupakan kelompok masyarakat ekonomi lemah yang selama ini memiliki akses terbatas ke lembaga keuangan syariah untuk memperoleh pembiayaan, utamanya pembiayaan yang bersifat konsumtif. Akibat terbatasnya akses tersebut menjadikan masyarakat miskin sering terjerat dengan para rentenir untuk memperoleh pinjaman guna memenuhi kebutuhan konsumtif mereka. Kondisi tersebut muncul karena masyarakat miskin seringkali membutuhkan dana cepat untuk biaya konsumtifnya, sedangkan mereka tidak memiliki jaminan yang layak yang dapat digunakan untuk memperoleh dana dari lembaga keuangan.
Pegadaian syariah sebagai salah satu sistem keuangan dalam Islam dapat menjadi salah satu alternatif sebagai institusi keuangan syariah yang membantu masyarakat miskin untuk memperoleh dana cepat guna menutupi kebutuhan konsumtifnya. Akad qardhul hasan dan ijarah merupakan dua akad yang umum dipakai dalam pegadaian syariah guna memenuhi kebutuhan dana cepat untuk kebutuhan konsumtif. Pegadaian syariah dengan dua akad tersebut hanya sekedar memenuhi dari sisi kebutuhan dana, tetapi tidak mampu memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat miskin. Nilai tambah ekonomi bagi masyarakat miskin akan dapat diperoleh dari sistem pegadaian syariah jika menggunakan akad rahn. Nilai tambah ekonomi dalam akad rahn akan diperoleh oleh masyarakat miskin karena dalam akad rahn pihak rahin akan memberikan ijin kepada pihak murtahin untuk memanfaatkan marhun, dan hasil dari pemanfaatan tersebut harus dibagi antara rahin dan murtahin. Sehingga dengan skema akad rahn masyarakat miskin akan dapat memenuhi kebutuhannyaa untuk biaya konsumtifnya sekaligus akan memperoleh nilai tambah ekonomi dari hartanya yang dijadikan sebagai marhun.

Keywords: pegadaian syariah, akad rahn