Thursday, April 22, 2010

MEMBANGUN KEUNGGULAN KOMPETITIF BANK SYARIAH

Konsep bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional secara langsung memberikan keunggulan secara komparatif bagi bank syariah dalam bersaing dengan bank konvensional. Bank syariah memiliki produk-produk perbankan yang uniqe dan terdiferensiasi dengan produk perbankan konvensional serta tidak dapat ditiru oleh bank konvensional. Keunggulan komperatif lainnya adalah bank syariah memiliki segmen pasar yang jelas dan loyalis yang tidak dapat dimiliki oleh bank konvensional. Sehingga keunggulan komperatif tersebut menjadikan industri perbankan syariah menjadi industri yang uniqe dan terdiferensiasi secara jelas dengan industri perbankan konvensional. Ternyata keunggulan komperatif bank syariah tersebut tidak mampu menjadikan bank syariah unggul bersaing dengan bank konvensional. Kondisi tersebut terjadi karena bank syariah belum berhasil membangun keunggulan kompetitif terhadap bank konvesional, sehingga yang muncul adalah kesan di mata konsumen bahwa bank syariah lebih mahal dibandingkan dengan bank konvensional.
Bank Syariah : Price Taker and Follower
Jika bunga menjadi instrument utama bagi bank konvensional untuk memperoleh pendapatan maka pendapatan bank syariah diperoleh dari pendapatan penjualan (murabaha), sewa (ijarah) dan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah). Perbedaan tersebut seharusnya bank syariah memiliki karakteristik yang khas dalam manajemen dana dan operasionalnya. Pada praktiknya, saat ini masih banyak bank syariah dalam melakukan pengelolaan dana dan operasionalnya masih mengacu pada manajemen bank konvensional yang menjadikan bunga sebagai instrumen utama dalam pengelolaan dana dan operasional. Sehingga bank syariah dalam menentukan margin, fee, dan nisbah dalam perhitungannya saat ini masih menggunakan bunga menjadi indikator pembanding dan penentu dalam menetapkan margin, fee, dan nisbah. Manajemen resiko bank syariah pun masih mengacu pada indikator-indikator bunga yang berlaku dalam bank konvensional, begitu juga beberapa aspek operasional bank syariah masih menggunakan prinsip-prinsip manajemen bank konvensional.
Kondisi tersebut menjadikan bank syariah selalu dalam posisi sebagai price taker dalam konteks persaingan dengan bank konvensional. Tingkat suku bunga yang selama ini ditetapkan oleh Bank Indonesia selalu mengacu pada kondisi bank-bank konvensional, atau dengan kata lain, tingkat suku bunga ditentukan oleh bank konvensional. Kondisi tersebut akan menjadikan bank syariah hanya sebagai follower bank konvensional, karena bank syariah tidak bisa menjadi price maker. Posisi bank syariah sebagai price taker dan follower bank konvensional tersebut disebabkan oleh empat faktor: pertama, regulasi Bank Indonesia dalam masalah manajemen resiko, kolektibilitas, atau pun regulasi lainnya untuk pengelolaan bank syariah tidak dibedakan dengan bank konvensional, akibatnya bank syariah tidak bisa menunjukan ke keunikannya yang bisa menjadi keunggulan kompetitif bank syariah untuk bersaing dengan bank konvensional. Kedua, produk-produk bank syariah yang dikembangkan saat ini masih merupakan imitasi produk-produk bank konvensional, sehingga belum nampak keunggulan kompetitif bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional karena keunikan produk bank syariah belum nampak. Ketiga, manajemen bank syariah masih menggunakan paradigma dan filosofi konvensional dalam mengoperasionalkan bank syariah, sehingga secara tidak langsung bank syariah akan selalu mencontoh dan mengikuti bank konvensional. Keempat, masyarakat/konsumen bank syariah masih membandingkan tingkat imbal bagi hasil atas simpanannya dengan tingkat suku bunga, kondisi ini menimbulkan dilemma pemasaran bagi manajemen bank syariah sehingga mendorong manajemen bank syariah untuk senantiasa mengikuti bank konvensional.
Selama bank syariah posisinya hanya sebagai price taker dan follower terhadap bank konvensional maka bank syariah akan tetap tidak bisa bersaing dengan bank konvensional. Keunggulan kompetitif akan dimiliki oleh bank syariah jika bank syariah mampu menjadi price maker dan menggunakan konsep syariah secara utuh dalam menjalankan operasi dan manajemen bank syariah.
Merentas Jalan Keunggulan Kompetitif
Keunggulan bank syariah tidak terlepas dari keunggulan syariah Islam yang bersifat komprehensif, universal, dan humanis sebagai landasan utama operasionalisasi bank syariah. Aturan-aturan yang ada dalam syariah Islam secara alamiah memberikan nilai-nilai keunggulan secara komperatif dan kompetitif bagi bank syariah untuk memenangkan persaingan dengan bank konvensional. Oleh karena itu keunggulan kompetitif bank syariah akan bisa terwujud jika regulasi, pelaksana (manajemen bank syariah), dan masyarakat (nasabah) mau dan mampu melaksanakan syariah Islam secara benar dalam muamalahnya. Sehingga bangunan keunggulan kompetitif bank syariah harus diawali oleh Bank Indonesia sebagai regulator perbankan di Indonesia dengan membuat regulasi dan kebijakan yang spesifik dan khusus bagi bank syariah serta sesuai dengan filosofi bank syariah. Selama ini kebijakan dan regulasi tentang bank syariah masih belum memposisikan secara jelas bank syariah sebagai suatu industri keuangan yang memiliki karakteristik unik dibandingkan dengan bank konvensional. Aturan dan regulasi yang mengikat bank syariah selama ini masih memandang bank syariah sama dengan bank konvensioanl yaitu sebagai lembaga keuangan penghimpun dan penyalur dana semata, padahal aktivitas perbankan syariah tidak hanya aktivitas perbankan murni tetapi juga aktivitas perdagangan barang, aktivitas konstruksi serta aktivitas sektor riil lainnya. Jika aturan dan kebijakan Bank Indonesia serta aturan-aturan lain tentang bank syariah masih menggunakan filosofi bank konvensional maka akan menyandera bank syariah untuk senantiasa menjadi price taker dan follower.
Bank syariah akan memiliki keunggulan kompetitif jika bank syariah menjadi price maker dan challanger terhadap bank konvensional. Kondisi tersebut terjadi jika Bank Indonesia memperjelas posisi bank syariah sebagai suatu industri keuangan yang berbeda dengan bank konvensional, dan seluruh regulasi dan kebijakan tentang bank syariah disusun berdasarkan filosofi dasar dari bank syariah. Manajemen bank syariah sendiri harus segera mengubah prinsip pengelolaan dana dan operasional bank syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah baik produk maupun non produk. Selama ini beberapa manajemen bank syariah masih mempertimbankan masalah cost of fund dalam pengelolaan dana, yang sebenarnya tidak ada konsep cost of fund dalam bank syariah, sehingga tidak berani untuk menurunkan margin dan fee serta nisbah bagi hasil di bawah tingkat suku bunga, dan kecenderungan untuk sama atau lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku.
Keunggulan kompetitif bank syariah juga akan terwujud jika bank syariah mampu membuat produk-produk yang bukan imitasi dari produk bank konvensional. Saat ini masih banyak produk-produk perbankan syariah merupakan hasil imitasi produk bank konvensional sehingga banyak penggunaan akad-akad yang tidak sesuai atau kurang pas dengan kebutuhan nasabah dan terkesan dipaksakan, akibatnya keunggulan kompetitif bank syariah belum nampak bahkan bisa menghilangkan keunggulan komperatif bank syariah karena konsumen menganggap bank syariah sama dengan bank konvensional.
Penutup
Bank syariah saat ini masih belum bisa unggul bersaing dengan bank konvensional karena masih ter-”sandera” dengan aturan dan kebijakan yang mengatur bank syariah semuanya belum sesuai dengan filosofi dasar bank syariah karena aturan dan regulasinya masih menggunakan filosofi bank konvensional, akibatnya mendorong manajemen bank syariah untuk mengelola operasional bank syariah berdasarkan prinsip-prinsip manajemen bank konvensional yang menjadikan bank syariah hanya sebagai price taker dan follower dalam persaingan dengan bank konvensional. Kondisi tersebut menyebabkan bank syariah kehilangan keunggulan kompetitif yang dimiliki sebagai suatu industri keuangan yang memiliki keunggulan komperatif dan kompetitif yang unik dan khas dibandingkan dengan bank konvensional. Keunggulan kompetitif dan komperatif bank syariah akan terwujud jika regulasi dan kebijakan serta manajerial bank syariah didasarkan pada prinsip-prinsip syariah yang bisa menjamin bank syariah beroperasional sesuai dengan filosofi dan karakter dasar bank syariah yang uniqe.

(Dimuat dalam majalah Sharing, edisi April 2010)

Thursday, April 8, 2010

KENAPA BANK SYARIAH KALAH BERSAING ?

Bank syariah di Indonesia sejak tahun 2000 -an telah menjadi satu industri keuangan yang sedang tumbuh berkembang dan menarik perhatian investor dan masyarakat. Perkembangan bank syariah untuk saat ini di Indonesia hanya sebatas pada bertambahnya bank umum syariah dan unit usaha syariah, tidak diimbangi dengan berkembangnya market share-nya. Target market share 5% pada tahun 2008 ternyata tidak tercapai, sampai awal tahun 2010 market share bank syariah hanya sekitar 2% saja. Fenomena ini menunjukkan bahwa bank syariah masih kalah bersaing dengan bank konvensional.
Bank syariah sebagai satu industri baru sebenarnya memiliki keunggulan bersaing dengan bank konvensional, baik keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Pada awal berkembangnya bank syariah di Indonesia keunggulan komperatif bank syariah lebih menonjol dibandingkan bank konvensional sehingga sebagai suatu produk keuangan baru memiliki daya tarik yang cukup kuat bagi konsumen. Perkembangan selanjutnya bank syariah berupaya untuk membangun keunggulan kompetetifnya agar bisa menarik konsumen lebih banyak lagi. Saat target market share 5% dicanangkan pada tahun 2008, bank syariah berupaya untuk membangun keunggulan kompetitifnya, meskipun pada akhirnya bank syariah belum bisa mencapai target market share 5% tersebut sampai tahun 2010.
Kegagalan bank syariah mencapai target market share 5% merupakan gejala bahwa bank syariah masih kalah bersaing dengan bank konvensional. Ketidakmampuan bank syariah dalam bersaing dengan bank syariah disebabkan tidak terkelolanya dengan baik keunggulan komperatif dan kompetitif yang dimiliki bank syariah. Kondisi tersebut disebakan oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah regulasi Bank Indonesia, hukum positif, dan masyarakat. Bank Indonesia dalam membuat regulasi untuk bank syariah tidak memperhatikan karakteristik khas bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional, banyak aturan-aturan BI untuk bank konvensional diberlakukan pula untuk bank syariah, misalkan tentang kebijakan PPAP Aktiva Produktif dan Non Produktif, serta aturan dan kebijakan tentang manajemen resiko di bank syariah banyak mengacu pada aturan-aturan bank konvensional. Begitu juga jika kita melihat Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 4 ayat 1 masih menyamakan bank syariah dengan bank konvensional, yaitu sebagai lembaga penyalur dan penghimpun dana semata sehingga karakteristik dan filosofi bank syariah tereliminasi. Hukum perdata pun masih sering bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum syariah, dan seringkali perbankan syariah masih mengutamakan hukum perdata dalam pembuatan akta notaries atau pencampuran antara hukum perdata dan hukum syariah sehingga ke-uniq-an bank syariah menjadi hilang..
Masyarakat secara tidak langsung juga menyebabkan keunggulan komperatif dan kompetitif bank syariah menjadi lemah. Masyarakat dalam menggunakan jasa perbankan syariah masih berperilaku sama seperti saat menggunakan jasa perbankan konvensional. Kondisi tersebut mendorong bagian pemasaran bank syariah dalam memasarkan produknya menyamakan dengan bank konvensional sebagai upaya simplikasi untuk memahamkan suatu produk bank syariah kepada nasabah. Seharusnya pengenalan produk bank syariah kepada masyarakat harus diiringi dengan proses edukasi kepada masyarakat untuk mengubah perilakunya saat menggunakan jasa dan produk bank syariah, sehingga keunggulan komperatif dan kompetitif bank syariah akan nampak.
Faktor internal yang menyebabkan keunggulan komperatif dan kompetitif bank syariah melemah adalah manajemen bank syariah itu sendiri. Secara umum manajemen bank syariah masih menggunakan pola-pola manajemen bank konvensional. Hal tersebut terjadi karena banyak aturan dan kebijakan Bank Indonesia untuk bank syariah yang mengacu dengan bank konvensional. Penentuan margin, fee, dan nisbah bank syariah masih menggunakan tingkat suku bunga sebagai indikator pembanding bagi manajemen bank syariah dalam membuat keputusan ekonomis. Manajemen bank syariah sendiri banyak mengukur kinerjanya dengan membandingkan kinerja bank konvensional terutama membandingkan imbal jasa simpanan bank syariah dengan bank konvensional.



Bank Syariah: Follower and Price Taker
Akibat kedua kondisi tersebut menyebabkan bank syariah hanya akan menjadi follower dan price taker semata. Peraturan dan kebijakan BI untuk bank syariah selama ini mendorong manajemen bank syariah untuk melakukan pengelolaan bank syariah sesuai dengan standar-standar kinerja bank konvensional, akibatnya bank syariah akan senantiasa mengacu dan meniru bank konvensional. Kondisi tersebut akan senantiasa menjadikan bank syariah sebagai follower bank konvensional yang telah menjadi market leader dalam industri keuangan, padahal bank syariah dengan keunikan dan karakteristik khas-nya bisa menjadi challenger bagi bank konvensional untuk merebut pangsa pasar dalam industri keuangan. Selama bank syariah ditempatkan sebagai follower maka bank syariah tidak akan bisa mengungguli bank konvensional, kalau pun bisa akan membutuhkan usaha yang besar agar keunggulan komparatif dan kompetitifnya nampak di mata konsumen.
Selain sebagai follower, bank syariah selama ini senantiasa menjadi price taker dalam persaingan dengan bank konvensional. Penetapan harga barang yang dijual ke nasabah melalau pembiayaan murabaha, penetapan fee sewa (ujrah), dan nisbah bagi hasil selalu menggunakan tingkat suku bunga sebagai dasar dan metode menetapan nilai pasar atas harga barang, ujrah, dan nisbah. Padahal selama ini tingkat suku bunga dikendalikan oleh bank-bank konvensional bukan oleh bank syariah. Akibatnya bank syariah hanya sekedar pengguna informasi bukan penghasil informasi yang dapat digunakan dalam menentukan nilai wajar pasar saat itu. Maka selama bank syariah hanya sebagai price taker bukan price maker dalam persaingan dengan bank konvensional maka bank syariah tidak akan bisa bersaing secara kompetitif dengan bank konvensional. Seharusnya bank syariah membentuk sistem informasi tersendiri yang terlepas dengan bank konvensional untuk digunakan sebagai dasar penetapan nilai pasar atas transaksi-transaksi jual beli, sewa, dan partnership.
Kembali Ke Jati Diri
Selama ini publik, pelaku, dan regulator masih berpresepsi bahwa bank syariah adalah “adik” dari bank konvensional. Sehingga segala sesuatu yang terkait dengan pengelolaan bank syariah masih mengacu pada ”sang kakak” yaitu bank konvensional. Padahal secara filosofi dasarnya bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Bank syariah bukan ”adik” bank konvensional tetapi satu institusi baru yang berbeda ”rahim” dengan bank konvensional. Maka seharusnya regulator harus menempatkan posisi bank syariah sesuai dengan karakteristik dan filosofi dasar bank syariah, yaitu dengan membuat dan menyusun kebijakan dan regulasi tentang bank syariah yang bersumber pada jati diri bank syariah sesungguhnya. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa banyak regulasi atau hukum positif yang berlaku dan mengatur bank syariah yang menyebabkan bank syariah kehilangan jati diri, dan mendorong manajemen bank syariah untuk ”berselingkuh” atau mengambil ”tikungan” untuk mensiasati perbedaan antara aturan syariah dan regulasi (hukum positif).
Jika pemerintah serius menjadikan bank syariah menjadi salah satu industri unggulan dalam bidang keuangan di Indonesia maka pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia harus berani melepaskan aturan-aturan perbankan konvensional yang berlaku di bank syariah, dan mengganti dengan aturan dan kebijakan yang sesuai dengan jati diri bank syariah. Selama bank syariah masih menggunakan aturan dan kebijakan yang berlaku di bank konvensional maka bank syariah akan ter”sandera” untuk tetap menjadi follower dan price taker sehingga tidak akan mampu bersaing dengan bank konvensional. Apakah itu yang diinginkan pemerintah...?
Waallahu’alam bisshowab.