Wednesday, June 11, 2008

OTO KRITIK EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

Ekonomi syariah di Indonesia mulai menggeliat sejak diberikan ijin operasi Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1990 oleh pemerintah saat itu. Meskipun sebenarnya sebelum BMI berdiri dan beroperasi sudah ada beberapa BMT yang beroperasi tetapi belum bisa menjadi daya ungkit bagi pelaksanaan ekonomi syariah di Indonesia. Berdiri dan beroperasinya BMI menjadi tonggak sejarah sendiri bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia karena kemunculan BMI boleh dikata telah menjadi bola salju bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Bola salju itu semakin besar sejak diterbitkan UU no 10 tahun 1998 tentang perbankan di Indonesia yang secara resmi mengakui bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah, dan bola itu akan semakin mengkokohkan ekonomi syariah di Indonesia jika RUU Perbankan Syariah segera diterbitkan oleh pemerintah.

Menarik memang jika kita melihat perkembangan ekonomi syariah di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain semisal Malaysia. Jika kita lihat sejarah perkembangan ekonomi syariah maka kita bisa merasakan betapa perkembangannya dipenuhi oleh perjuangan umat Islam Indonesia jika kita bandingkan dengan negara tetangga kita Malaysia, dan sampai sekarang pun nuansa perjuangan itu masih tetap ada. Kita katakan penuh dengan perjuangan karena pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia digerakan oleh para pejuang-pejuang ekonomi syariah baik dari kalangan mahasiswa, akademisi maupun praktisi bukan oleh pemerintah. Jika pun sekarang ada respon dari pemerintah itupun karena dorongan dari masyarakat muslim Indonesia yang rindu akan kebebasan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan ekonomi dan bisnis di Indonesia. Lain kasusnya jika kita tengok sejarah perkembangan ekonomi syariah di Malaysia, dimana pemerintah menjadi pendorong utama geraknya ekonomi syariah baru kemudian masyarakat mulai meresponnya karena itu wajar jika perkembangannya cukup masif.Itulah yang membedakan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia dengan negara lain.

Pada era 90-an merupakan masa perjuangan untuk mendapatkan pengakuan secara politik atas pelaksanaan ekonomi syariah di Indonesia. Pengakuan secara politik tersebut dibuktikan dengan diijinkannya BMI sebagai bank syariah pertama di Indonesia beroperasi meskipun payung hukumnya belum ada. Sejak itulah kemudian ada upaya untuk mendapatkan pengakuan secara hukum pelaksanaan ekonomi syariah di Indonesia yang akhirnya diperoleh pada tahun 1998 dengan diterbitkan UU no 10 tentang Perbankan sebagai revisi atas UU sebelumnya.

Sejak diakui secara hukum pelaksanaan ekonomi syariah maka perkembangan ekonomi syariah di Indonesia memasuki era baru yaitu era sosialisasi ke seluruh elemen masyarakat. Sejak itulah kemudian muncul berbagai macam kelompok diskusi ilmiah tentang ekonomi syariah, seminar-seminar, dan kuliah-kuliah informal tentang ekonomi syariah. Pada masa-masa sosialisasi itulah kebanyakan materi-materi yang diberikan menceritakan tentang kehebatan dan kebaikan ekonomi syariah, maklum mungkin sebagai media promosi dan menanamkan keyakinan tentang ekonomi syariah. Para volonter dan penggiat ekonomi syariah saat itu sangat masif melakukan sosialisasi kepada seluruh segmen masyarakat yang sebagian besar materi sosialisasinya adalah menngungkapkan berbagai macam keunggulan sistem ekonomi syariah dibandingkan dengan sistem ekonomi lainnya. Proses sosialisasi itu kurang lebih berjalan selama kurun waktu 5 tahun sejak UU No 10 diberlakukan.Hasil besar masa sosialisasi itu adalah mulai bermunculan bank-bank syariah dan BPRS Syariah serta BMT.

Berikutnya ekonomi syariah di Indonesia memasuki fase pertumbuhan sejak tahun 2003 sampai sekarang dengan ditandai munculnya bank-bank syariah, BPRS, KJKS, pegadaian syariah, asuransi syariah dll. Saat ini BMI tidak sendiri lagi sebagai bank umum syariah ada Bank syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Serta mulai ada puluhan unit usaha syariah dan ratusan BPRS syariah serta ribuan koperasi jasa keuangan syariah. Belum lagi banyak institusi bisnis syariah lainnya dlam bidang asuransi dan pegadaian. Dan saat ini skema pembiayaan syariah sudah merambah ke berbagai sektor bisnis. Satu sisi kondisi ini menggembirakan tetapi satu sisi mengkwatirkan.

Patut kita berbangga dengan capaian pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia dengan semakin maraknya transaksi bisnis dan oragnisasi bisnis yang berbasis syariah. Namun juga menyisahkan masalah, yaitu semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi bisnis syariah. Anehnya kesadaran dan pemahaman orang tentang ekonomi syariah semakin meningkat tetapi kepercayaan masyarakat terhadap institusi bisnis Islam masih rendah. Orang masih menganggap tidak ada bedanya antara bank syariah dengan bank konvensional, dan banyak pula masyarakat yang kecewa terhadap pelayanan bank syariah karena banyangan yang ideal berbeda dengan realita yang ada. Mungkin ini adalah buah kesalahan kita pada fase sosialisasi yang terlalu memberikan ekspetasi lebih atas keunggulan dan kedigdayaan ekonomi syariah kepada masyarkat, sedangkan masyarkat saat ini merasakan bahwa aplikasi ekonomi syariah tidak seindah apa yang mreka bayangkan dan harapkan. Ini tugas besar kita semua untuk memberikan informasi yang benar dan juga pembetulan-pembetulan informasi yang kita berikan selama masa sosialisasi dulu. Kita harus menginformasikan bahwa keindahan ekonomi syariah akan terwujud jika ada beberapa syarat terpenuhi, salah satunya adalah peran aktif pemerintah. Jika peran pemerintah masih pasif seperti saat ini maka akan sangat sulit keunggulan ekonomi syariah itu akan terwujud.

Selam masa pertumbuhan ini maka kita sebenarnya memasuki masa penghapusan dan penghindaran riba dari kehidupan masyarakat. Jika kita amati semua transaksi syariah dan institusi bisnis syariah saat ini hanya sekedar mencapai penghindaran riba belum mencapai pemaksimalan manfaat ekonomi syariah bagi kemaslahatan ummat. sehingga pantaslah keberadaan instiusi bisnis syariah dan pelaksanaan ekonomi syariah belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Islam. Bukti konkrit adalah keberadaan puluhan bank syariah dan ratusan BPRS belum bisa membawa kemajuan ekonmi dan kesejahteraan ummat Islam, sehingga pantas ummat Islam bertanya untuk siapa bank syariah itu berdiri...?untuk ummat Islam atau untuk orang kaya...? Jika bank syariah dan intitusi bisnis syariah terjebak pada mencari keuntungan yang halal semata tampa memperhatikan peran da'wah bagi kemajuan ekonomi ummat maka hal tersebut akan menyakitkan bagi ummat Islam sendiri. Jika bank syariah terjebak pada filosofi bahwa bank itu untuk mengkaya orang kaya lalu apa bedanya dengan bank konvesional.....?

Mungkin kita akan banyak alasan dan alibi atas pembenaran kondisi ini, tetapi yang harus kita ingat selalu bahwa cita-cita besar pelaksanaan ekonomi syariah dari jaman Rasulullah sampai sekarang adalah untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan bagi ummat Islam dengan dilandasi oleh rasa ukhuwah islamiyyah untuk mencapai keberkahan dunia akhirat. Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan renungan kita bersama untuk menjaga ekonomi syariah tetap pada track yang benar sesuai dengan al-maqhasid syariah yaitu menciptkan kemakmuran, kesejahteraan, kesholihan, dan ketakwaan kepada Allah SWT.

AUDIT SYARIAH DENGAN KERANGKA BALANCE SCORECARD

Abstraksi

Makna kepatuhan syariah dalam bank syariah adalah penerapan prinsip – prinsip Islam, syariah, dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan perbankan secara konsisten, dan menjadikan syariah sebagai kerangka kerja bagi sistem dan keuangan bank syariah dalam alokasi sumberdaya, manajemen, produksi, aktivitas pasar modal, dan distribusi kekayaan. Sehingga kepatuhan syariah dalam operasional bank seharusnya meliputi produk, sistem, teknik, dan identitas perusahaan bukan hanya produk saja, sehingga budaya perusahaan, yang meliputi pakaian, dekorasi, dan imej perusahaan, juga merupakan salah satu aspek kepatuhan syariah dalam bank syariah yang bertujuan untuk menciptakan suatu moralitas dan spiritualitas kolektif yang apabila digabungkan dengan produksi barang dan jasa akan menopang kemajuan dan pertumbuhan jalan hidup yang Islami.
Audit syariah merupakan pengujian kepatuhan syariah secara menyeluruh terhadap aktivitas bank syariah. Tujuan utama audit syariah adalah untuk memastikan kesesuaian seluruh operasional bank dengan prinsip dan aturan syariah yang digunakan sebagai pedoman bagi manajemen dalam mengoperasikan bank syariah. Sehingga dengan dilakukan audit syariah diharapkan semua aktivitas dan produk bank syariah dapat dipastikan sesuai dengan aturan dan prinsip syariah Islam. Tetapi dalam prakteknya audit syariah seringkali dilakukan hanya sebatas pada pengujian kesesuaian produk bank syariah dengan prinsip dan aturan syariah yang ada, sedangkan aspek operasional bank yang lain terabaikan. Akibatnya tujuan utama pelaksanaan audit syariah tidak tercapai sehingga kebutuhan stakeholder bank syariah atas jaminan kepatuhan syariah menjadi minimalis. Hal tersebut terjadi karena belum ada kerangka kerja yang menjadi acuan pelaksanaan audit syariah secara komprehensif.
Balance scorecard sebagai salah satu alat manajemen kontemporer untuk menilai kinerja manajemen secara komprehensif dapat digunakan sebagai salah satu alternatif menjadi kerangka kerja pelaksanaan audit syariah pada bank syariah. Audit syariah dengan kerangka balance scorecard akan bersifat penilaian kepatuhan syariah secara menyeluruh bukan hanya pada aspek produk (finansial) saja tetapi juga aspek non produk (non finansial). Balace scorecard sebagai kerangka kerja pelaksanaan audit syariah pada bank syariah akan menjadikan pelaksanaan audit syariah bersifat komprehensif yang akan mampu memberikan gambaran secara menyeluruh atas kepatuhan manajemen terhadap prinsip dan aturan syariah.


Keywords : audit syariah, balance scorecard

APLIKASI KONSEP SYURO DAN HISBA DALAM SISTEM PENGAWASAN INTERNAL SYARIAH PADA BANK SYARIAH

Abstraksi

Pengawasan internal syariah merupakan kontrol atas kepatuhan operasional bank terhadap prinsip dan aturan syariah. Kontrol atas kepatuhan operasional bank terhadap prinsip dan aturan syariah akan berjalan efektif jika ada mekanisme kerja yang terintegrasi dan efektif antara dewan pengawas syariah dan internal auditor. Sehingga efektifitas pengawasan internal syariah ditentukan oleh efektivitas mekanisme kerja antara dewan pengawas syariah dan internal auditor untuk melakukan penilaian dan kontrol atas kepatuhan syariah dalam operasional bank.
Sistem pengawasan internal syariah pada bank syariah di Indonesia saat ini belum berjalan efektif. Hal tersebut disebabkan belum optimalnya peran dan fungsi dewan pengawas syariah dan internal auditor dalam melakukan pengawasan internal syariah. Dewan pengawas syariah di Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai penasehat daripada sebagai pengawas dan pemeriksa kepatuhan syariah karena keterbatasan mereka dalam ketrampilan di bidang audit, ekonomi, dan hukum bisnis. Sedangkan internal auditor bank syariah hanya berfungsi sebagai pemeriksa dan pengawas kepatuhan pada aspek non syariah karena keterbatasan mereka dalam pemahaman masalah fiqih muamalah. Faktor utama penyebab kondisi tersebut adalah belum adanya mekanisme kerja yang integral antara dewan pengawas syariah dan internal auditor dalam melakukan pengawasan internal syariah.
Paper ini berusaha untuk mengeksplorasi aplikasi konsep syuro dan hisba dalam sistem pengawasan internal syariah pada bank syariah di Indonesia. Konsep syuro dan hisba dapat menjadi kerangka dalam menyusun sistem pengawasan internal syariah yang efektif. Aplikasi konsep syuro dan hisba dalam sistem pengawasan internal syariah akan mendorong terciptanya mekanisme kerja yang terintegrasi dan efektif antara dewan pengawas syariah dan internal auditor dalam melakukan pengawasan internal syariah pada bank syariah. Efektifitas sistem pengawasan internal syariah pada bank syariah akan memberikan jaminan kepatuhan syariah kepada stakeholders bank syariah.

Keywords : Syuro, Hisba, Pengawasan Internal Syariah

Friday, March 14, 2008

FATWA MUI TENTANG BUNGA BANK HARAM DAN KEPERCAYAAN TERHADAP BANK SYARIAH

Fatwa MUI yang berisi bahwa bunga bank haram ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kenaikan kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah di Indonesia. Fatwa tersebut hanya sebagai faktor pendorong menjamurnya bank syariah di Indonesia, dan direspon secara dingin oleh masyarakat Indonesia, utamanya masyarakat muslim. Hal itu dibuktikan dalam kurun waktu hampir dua bulan sejak fatwa tersebut dikeluarkan tidak pernah terjadi rush terhadap bank konvesional, dan aliran dana masyarakat ke bank syariah naik secara tidak signifikan, artinya kenaikan aliran dana masyarakat ke bank syariah bukan disebabkan karena adanya fatwa MUI tersebut tetapi oleh faktor lain. Sebaliknya di kalangan perbankan, keluarnya fatwa MUI tersebut disambut dengan antusias. Sehingga kurang dari sebulan sejak fatwa tersebut dikeluarkan telah banyak diumumkan berdirinya bank-bank syariah, mulai dari skala kecil (unit syariah) sampai ke skala besar (bank umum syariah). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa dengan keluarnya fatwa MUI tersebut tidak secara otomatis mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah.
Munculnya fatwa MUI tersebut kurang mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat ke bank syariah tidak hanya disebabkan kurang pahamnya masyarakat tentang fiqih Islam (hukum Islam) semata, tetapi juga disebabkan masyarakat masih belum percaya kepada bank syariah itu sendiri. Artinya, masih banyak masyarakat yang belum yakin bahwa bank-bank syariah yang ada dan telah beroperasi saat ini telah menjalankan operasionalnya sesuai tuntunan syariah. Hal itu dibuktikan masih banyak di kalangan pasar irrasional bank syariah sendiri yang kurang percaya atas kepatuhan bank syariah pada prinsip-prinsip syariah. Sedangkan pasar rasional bank syariah masih bersifat wait and see atas keberadaan bank-bank syariah di Indonesia.
Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat pada bank syariah, utamanya segmen pasar irrasional bank syariah yang seharusnya dapat menjadi market share terbesar, disebabkan adanya informasi asimetris atas kinerja bank syariah. Informasi asimetris yang dimaksud adalah tidak tersedianya informasi bagi public untuk mengetahui dan menilai apakah suatu bank syariah telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dalam menjalankan bisnis operasionalnya. Selama ini yang bisa menilai dan mengetahui bahwa bisnis operasional bank syariah sesuai dengan kepatutan syariah hanyalah dewan syariah dan manajemen bank syariah sendiri. Sedangkan public selama ini belum pernah memperoleh informasi tersebut dalam bentuk laporan resmi untuk memberikan keyakinan masyarakat tentang kepatutan syariah operasional bisnis bank syariah. Akibat adanya informasi yang asimetris tersebut menghambat meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah meskipun ada fatwa MUI yang mengatakan bunga bank haram.
Informasi asimetris tersebut dapat diatasi dengan melakukan pengungkapan secara penuh (full disclosure) atas laporan keuangan bank syariah dan membuat value added report tentang kepatutan syariah dari laporan keuangan yang dikeluarkan oleh bank syariah. Meskipun saat ini telah ada peryataan standar akuntansi (PSAK) No. 59 tentang standar pelaporan keuangan bank syariah, standar tersebut belum dapat menghasilkan informasi tentang kepatutan syariah suatu operasional bank syariah. Standar tersebut sebatas memberikan informasi tentang kinerja keuangan bank syariah. Sedangkan informasi yang diperlukan bagi para stakeholder bank syariah yang utama, selain kinerja keuangan, adalah mengenai kepatutan syariah atas operasional bisnis bank syariah. Informasi tersebut penting, karena sistem syariah adalah karakteristik khas bank syariah dalam menjalankan bisnisnya, dan menjadi unsur utama penilaian masyarakat untuk memberikan kepercayaan atas dana yang diberikan ke bank syariah. Hal tersebut sesuai dengan prinsip muamalah dalam Islam yaitu halalan toyiban (halal dan baik) atau dapat diterjemahkan secara umum yaitu amam secara syar’i dan aman secara investasi dalam setiap muamalah.
Proses penyusunan konsep full disclosure dan value added report atas laporan keuangan bank syariah tersebut perlu sinergisitas antara Dewan Syariah Nasional (DSN), sebagai pengawas syariah atas bank syariah di Indonesia, dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sebagai pemegang standar setter akuntansi di Indonesia, serta para praktisi bank syariah. Sinergisitas ketiga pihak tersebut diarahkan untuk menghasilkan suatu format laporan keuangan bank syariah yang mampu menghilangkan aspek informasi asimetris atas kinerja bank syariah saat ini. Terkuranginya informasi yang asimetris tersebut akan memberikan dua manfaat bagi dunia perbankan syariah di Indonesia yaitu: pertama, meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah, utamanya segmen pasar irasional. Kedua, meningkatkan sistem pengawasan atas kepatutan syariah dari bank-bank syariah di Indonesia.
Kendala yang muncul untuk mewujudkan kedua hal tersebut di atas adalah kurang responsifnya DSN dan IAI dalam menyikapi fatwa MUI tentang bunga bank. Lambatnya respon dari kedua lembaga tersebut mengakibatkan fatwa MUI tidak dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat atas bank syariah. Karena aturan-aturan yang dihasilkan oleh kedua lembaga tersebut yang dapat mengurangi informasi asimetris atas kinerja bank syariah untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada bank syariah.
Fatwa MUI bahwa bunga bank haram harus diimbangi dengan usaha-usaha untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat atas bank syariah, sehingga fatwa MUI tersebut tidak sekedar sebagai pemicu munculnya bank-bank syariah di Indonesia tetapi juga sebagai pemicu untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat atas bank syariah. Menghilangkan informasi asimetris tentang kepatutan syariah atas operasi bisnis bank syariah melalui full disclosure dan value added report sebagai salah satu cara meningkatkan kepercayaan masyarakat atas bank syariah untuk merespon fatwa MUI tersebut. Untuk itu perlunya sinergsitas DSN dan IAI untuk menghasilkan aturan-aturan yang dapat memberikan informasi kepada masyarakat sekaligus peningkatan pengawasan atas kinerja bank syariah di Indonesia.

REVITALISASI KOPERASI UNTUK PENGENTASAN KEMISKINAN

Koperasi sebagai wadah ekonomi rakyat dan sokoguru ekonomi nasional kian hari semakin pudar peran dan fungsinya dalam perekonomian Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana amanat UUD 1945. Pudarnya peran dan fungsi koperasi sebagai benteng pembangunan ekonomi rakyat saat ini menurut ekonom Sri Edi Swasono disebabkan koperasi mengalami krisis ideologi, krisis identitas, dan krisis misioner yang menyebabkan koperasi mengalami keterpurukan dan tidak mampu lagi sebagai media yang secara strategis untuk menghimpun kekuatan ekonomi rakyat yang lemah dan kecil. Koperasi saat ini telah dimasuki ideologi kapitalisme yang telah mereduksi watak sosial koperasi. Koperasi bukan lagi sebagai lembaga ekonomi yang berwatak sosial yang mengutamakan kesejahteraan dan kepentingan bersama, tetapi telah menjadi lembaga ekonomi yang berorientasi bisnis murni dan laba sehingga koperasi saat ini telah ditransformasi menjadi koperasi kapitalistik yang tidak lagi mengenal watak aslinya yaitu mengutamakan kepentingan bersama para anggotanya. Ibaratnya koperasi saat ini telah menjadi PT yang bernama koperasi, yang lebih mengutamakan kepentingan para pemodal daripada kepentingan dan kesejahteraan anggotanya.
Koperasi dalam wujud nyatanya sekarang telah menjadi suatu bidang usaha yang sangat menguntungkan bagi para pemilik modal. Menjamurnya koperasi saat ini utamanya koperasi yang bergerak dalam bidang usaha simpan pinjam menjadi indikasi kuat betapa koperasi telah menjadi koperasi kapitalistik. Kenyataan di lapangan banyak lembaga keuangan mikro yang "berbaju" koperasi yang sejatinya tujuan dan misinya bukan untuk membantu meringankan beban dan mensejahterakan anggotanya tetapi lebih untuk mensejahterakan para pemodal yang mensponsori berdirinya koperasi tersebut. Akibantnya semakin banyaknya koperasi yang berdiri saat ini tidak berbanding lurus dengan semakin meningkatnya kesejahteraan rakyat dan tidak mampu menurunkan kemiskinan di Indonesia, karena manfaat koperasi saat ini lebih banyak dirasakan oleh para pemodal daripada anggotanya.
Kondisi koperasi yang terjadi saat ini telah lama diprediksikan oleh para ekonom gerakan ekonomi rakyat sejak diberlakukan Undang-Undang Koperasi No. 25 tahun 1992. Undang-undang tersebut menjadi salah satu legitimasi untuk membentuk koperasi kapitalistik seperti saat ini. Undang-undang tersebut telah menjadi alat bagi para pemodal untuk meraih keuntungan bisnis dengan memakai "baju" koperasi. Undang-undang koperasi tersebut telah memasukan koperasi dalam wilayah abu-abu (gray area) dalam dunia bisnis yang sangat menguntungkan bagi para pemodal untuk mengambil celah (loop hole) atas status koperasi. Berdasarkan UUD 1945 koperasi menjadi alat politik negara untuk menciptakan kesejahteraan rakyat sehingga menjadi kewajiban negara untuk memberikan "fasilitas" kepada koperasi. Fasilitas (preferensi) tersebut dimanfaatkan oleh para pemodal untuk meraih keuntungan dengan mengeliminir kepentingan dan kesejahteraan anggota koperasi karena koperasi telah menjadi badan usaha yang berorientasi bisnis murni bukan badan usaha yang berwatak sosial.
Koperasi berdasarkan watak dan ideologinya, sejatinya merupakan media yang sangat strategis bagi pemerintah untuk memerangi kemiskinan di Indonesia yang semakin tinggi. Salah satu faktor penyebab orang menjadi miskin adalah karena tidak memiliki aset produktif yang dapat digunakan untuk menciptakan kemandirian ekonomi. Peran koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional tidak hanya sekedar meningkatkan pendapatan anggotanya tetapi juga harus mampu meningkatkan kepemilikan aset produktif bagi anggotanya. Koperasi dapat menjadi sarana efektif bagi negara untuk malakukan restrukturisasi ekonomi dalam penguasaan aset ekonomi dalam masyarakat. Koperasi dapat berfungsi sebagai alat untuk memeratakan struktur konsentrasi penguasaan aset ekonomi sehingga para ekonomi lemah (orang miskin) dapat memiliki kesempatan untuk menguasai aset produktif untuk meningkatkan kemandirian ekonominya.
Koperasi akan menjadi sarana efektif bagi pemerintah untuk mengentaskan penduduk miskin di Indonesia jika dilakukan revitalitasi koperasi secara sinergis dengan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah. Langkah awal dalam revitalisasi koperasi saat ini adalah dengan melakukan reformasi atas Undanga-Undang Koperasi dan aturan-aturan hukum yang memayungi keoperasi untuk mengembalikan koperasi pada watak dan ideologi aslinya. Undang-Undang Koperasi saat ini telah menyebabkan koperasi tidak memiliki peran startegis dalam kemandirian ekonomi rakyat untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia karena cenderung mendorong koperasi untuk masuk dalam liberalisme pasar yang banyak dikuasai oleh para pemodal kuat. Langkah kedua adalah mendorong munculnya koperasi berbasis komunitas dengan daya dukung pemerintah untuk melakukan restrukturisasi ekonomi dalam pemilikan dan penguasaan aset ekonomi. Koperasi merupakan media yang menghimpun secara sinergis kekuatan-kekuatan ekonomi rakyat yang lemah dan kecil untuk dapat menguasai aset produktif secara kolektif. Koperasi berbasis komunitas akan dapat membangun kesejahteraan secara berjamaah (kolektif) dan memunculkan semangat gotong royong sebagai ruh dari ekonomi kerakyatan. Hal tersebut memerlukan daya dukung pemerintah untuk membuat kebijakan yang dapat menjadikan koperasi dapat eksis dalam melaksanakan perannya dan juga tidak menjadikan koperasi hanya sebagai alat politik negara semata. Langkah berikutnya adalah reformasi dalam manajemen pengelolaan koperasi. Salah satu faktor terbesar terpuruknya koperasi di Indonesia adalah akibat salah urus dan salah pengelolaan. Hal tersebut disebabkan adanya krisis kepemimpinan dalam koperasi, oleh karena itu perlu adanya upaya pemerintah untuk mendorong munculnya lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta untuk mencetak dan mendidik sumber daya manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan dalam bidang koperasi, termasuk melakukan revisi atas kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi dalam pemberian materi tentang perkoperasian.
Revitalisasi dan reformasi koperasi di Indonesia akan menjadi salah satu upaya strategis bagi pemerintah untuk memerangi kemiskinan di Indonesia yang semakin hari semakin meningkat. Koperasi merupakan media strategis untuk memberikan kesempatan kepada para ekonomi lemah (orang miskin) untuk menguasai aset produktif agar dapat menjadikan mereka lebih mandiri dalam bidang ekonomi. Sehingga revitalisasi dan reformasi koperasi di Indonesia harus diarahkan dan disinergikan dengan program dan upaya pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia, dan langkah penting revitalisasi dan reformasi koperasi saat ini adalah mengembalikan koperasi kepada watak dan ideologi sejatinya yaitu berwatak sosial dan mengutamakan kepentingan seta kesejahteraan anggotanya.

IBADAH HAJI DAN ETIKA BISNIS

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang harus ditegakan oleh setiap muslim. Kedudukannya sama dengan empat rukun Islam lainnya, sehingga jika ditinggalkan maka hilang kesempurnaan keislaman seseorang. Meskipun dijelaskan bahwa rukun haji wajib dilaksanakan jika mampu, tetapi keberadaanya tetap sebagai syarat sempurnanya keislaman seorang muslim. Arti kata mampu tersebut adalah mampu untuk berusaha dan berupaya untuk menyiapkan diri agar dapat melaksanakan rukun haji tersebut. Sehingga setiap muslim wajib mempunyai azam dan niatan serta upaya keras untuk dapat melaksanakan rukun haji tersebut. Artinya setiap muslim harus mengupayakan dengan segala apa yang dimiliki untuk dapat melaksanakan ibadah haji, baik itu kemampuan harta, fisik, ruhiyah, jiwa, maupun waktu. Karena itu tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk tidak berniat dan beraazam melaksanakan ibadah haji, untuk mewujudkan maka setiap muslim harus mengupayakan dirinya agar dapat beribadah haji sejak dini.
Kendala utama saat ini yang sering menghalangi umat Islam melaksanakan ibadah haji adalah faktor harta (biaya). Hikmah besar atas kendala itu adalah setiap muslim wajib bekerja keras dan mengelola keuangan pribadinya untuk dapat melaksanakan ibadah haji. Dengan menjadikan bekerja sebagai upaya untuk dapat beribadah haji akan dapat membangun etika bisnis yang Islami dengan melalui dua jalan yaitu ibadah haji sebagai motif ekonomi dan ibadah haji sebagai dasar manajemen keuangan keluarga.
Ibadah Haji Sebagai Motif Ekonomi
Motif ekonomi merupakan dorongan manusia untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi untuk mencapai hasil atau tujuan yang diinginkan. Ibadah haji sebagai motif ekonomi artinya niatan untuk melaksanakan ibadah haji sebagai faktor pemicu seorang muslim untuk melakukan serangkaian tindakan ekonomi untuk memperoleh sesuatu yang dapat digunakan untuk melaksanakan ibadah haji. Ada dua nilai etika bisnis yang terbentuk dalam pribadi seorang muslim jika ibadah haji sebagai motif ekonomi yaitu : pertama, tuntunan dan rambu-rambu syariah menjadi dasar untuk melakukan segala tindakan ekonomi. Karena dalam ajaran Islam berlaku kaidah untuk tidak mencampur antara yang hak dengan yang batil, karena ibadah haji merupakan sesuatu yang hak (kebaikan) maka dalam usaha-usaha untuk melaksanakan ibadah haji harus dilakukan sesuai dengan tuntunan syariah. Sehingga harta yang dihasilkan dari serangkaian tindakan ekonomi merupakan harta yang halal dan baik. Kedua, merealisasikan nilai bahwa bekerja adalah ibadah. Karena ibadah haji sebagai motif ekonomi maka tujuan utama bekerja adalah untuk mencapai tujuan akhir yaitu ibadah haji, sedangkan tujuan pemenuhan pangan, sandang dan papan sekedar menjadi tujuan sampingan. Sehingga bekerja bagi seorang muslim menjadi nilai ibadah dimata Allah dan manusia karena bekerja adalah dalam rangka berjihad untuk menegakkan rukun Islam.
Ibadah Haji sebagai Dasar Manajemen Keuangan Keluarga
Manajemen keuangan keluarga merupakan teknik atau cara mengelola sumber dan pengeluaran keluarga untuk mencapai tujuan-tujuan keuangan yang ingin dicapai oleh sebuah keluarga. Ibadah haji sebagai dasar manajemen keluarga artinya ibadah haji menjadi tujuan keuangan utama dan pertama bagi keluarga. Artinya selain memikirkan asuransi kesehatan dan pendidikan bagi setiap anggota keluarga, maka keluarga muslim harus menciptakan jaminan keuangan bahwa setiap anggota keluarganya mampu melaksanakan ibadah haji. Ada dua nilai yang muncul sebagai pembentuk etika bisnis Islami dalam hal ini yaitu : pertama, mendorong setiap keluarga untuk produktif. Ibadah haji sebagai dasar manajemen keuangan keluarga akan mendorong setiap anggota keluarga menghindar dari sifat boros. Karena adanya dorongan untuk melaksanakan dan menegakkan rukun Islam menjadikan setiap anggota keluarga berprilaku efesien dan efektif dalam memanfaatkan sumberdaya ekonomi dalam keluarga. Serta mendorong setiap keluarga untuk memberikan kontribusi bagi keuangan keluarga guna meningkatkan jaminan keuangan untuk beribadah haji bagi setiap anggota keluarga. Kedua, membersihkan harta keluarga dari harta haram, yaitu menjadikan nilai-nilai Islam sebagai dasar bagi setiap anggota keluarga dalam menghasilkan dan memanfaatkan harta (keuangan) keluarga. Artinya tidak hanya bagaimana kita mencari harta yang halal saja, tetapi juga bagaimana kita membelanjakan harta kita. Ketiga, sarana pendidikan akhlak bagi anggota keluarga, yaitu menumbuhkan nilai-nilai bahwa bekerja adalah ibadah. Karena bekerja adalah ibadah maka dalam bekerja kita harus menjadikan nilai-nilai Islam sebagai kerangka kita dalam bekerja.
Ibadah Haji sebagai Bangunan Etika Bisnis
Ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam yang wajib ditegakan oleh setiap muslim memberikan pendidikan untuk menanamkan etika bisnis yang Islami. Ada dua jalan dimana ibadah haji dapat digunakan untuk membangun etika bisnis Islami yaitu ibadah haji sebagai motif ekonomi dan ibadah haji sebagai dasar manajemen keluarga. Kedua hal tesebut sebagai dorongan untuk melahirkan nilai-nilai dalam etika bisnis antara lain, menjadikan nilai-nilai Islam sebagai bingkai bagi setiap muslim untuk bekerja mencari harta, bekerja adalah ibadah sebagai dasar pengendalian diri dan motivator serta nilai dalam bekerja bagi setiap muslim, membangun nilai-nilai hidup efesien dan produktif dalam memanfaatkan harta, serta mendidik setiap muslim untuk berzakat dan berinfaq dalam rangka membersihkan harta mereka.
Ibadah haji sebagai puncak kesempurnaan keislaman seorang muslim tidak hanya memberikan nilai-nilai dalam hubungan antara manusia dengan Allah tetapi juga memberikan nilai-nilai dalam bermuamalah antara sesama manusia. Ibadah haji sebagai bangunan etika bisnis Islami karena memberikan arah bagi setiap muslim dalam bekerja untuk memperoleh harta yang halal dan baik, karena ibadah haji akan terlaksana salah satu sebabnya adalah adanya kecukupan harta. Sehingga untuk melaksanakan ibadah haji setiap muslim harus bekerja dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan syariah Islam untuk menghasilkan harta yang halal dan baik, serta bagaimana setiap muslim mengelola keuangan pribadi dan keluarganya agar tercipta jaminan keuangan untuk beribadah haji.

Wednesday, March 12, 2008

DPS DAN PENGAWASAN INTERNAL SYARIAH PADA BANK SYARIAH

A. PENDAHULUAN

Aspek kesesuaian dengan syariah (shari’a compliance) merupakan aspek utama dan mendasar yang membedakan antara bank syariah dengan bank konvensional. Hasil penelitian Bank Indonesia bersama beberapa lembaga penelitian perguruan tinggi negeri di Pulau Jawa tentang potensi, preferensi, dan perilaku masyarakat terhadap bank syariah di Pulau Jawa pada tahun 2000, menunjukkan bahwa salah satu alasan utama masyarakat memilih bank syariah adalah kehalalan produk dan jasa serta sistem bank syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Hasil penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa salah satu alasan utama nasabah bank syariah berhenti menjadi nasabah karena keraguan akan konsistensi bank syariah dalam menerapkan prinsip-prinsip syariah. Untuk memastikan bahwa operasional bank syariah telah memenuhi prinsip-prinsip syariah, maka bank syariah harus memiliki institusi internal independen yang khusus dalam pengawasan kepatuhan syariah yaitu dewan pengawas syariah (DPS).
Dewan pengawas syariah merupakan institusi independen dalam bank syariah yang fungsi utamanya adalah melakukan pengawasan kepatuhan syariah dalam operasional bank syariah. Tugas dan fungsi serta keberadaan dewan pengawas syariah dalam bank syariah memiliki landasan hukum baik dari sisi fiqih maupun undang – undang perbankan di Indonesia. Dewan pengawas syariah merupakan istilah umum yang digunakan di Indonesia untuk menyebut institusi pengawasan internal syariah di bank syariah, karena di luar negeri DPS disebut juga sebagai shari'a supersory board (SSB), atau shari'a committee, atau shari'a council, dan sebagainya. Jumlah keanggotannya pun berbeda – beda untuk setiap negara meskipun secara fungsi dan tugasnya sama.
Pengertian DPS oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dalam Governance Standard for Islamic Financial Institutions (GSIFI) No. 1 paragraf 2 menyatakan bahwa :
“A shari’a supervisory board is an independent body of specialised jurists in fiqih mua’amalat (Islamic commercial jurisprudence). However, the Shari’a supervisory board may include a member other than those specialised in fiqih mua’amalat, but who should be an expert in the field of Islamic Financial institutions and with knowledge of fiqih mua’amalat…”

Pengertian DPS menurut Arifin (2005:106) adalah badan independen yang ditempatkan oleh dewan syariah nasional (DSN) pada bank. Anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan umum di bidang perbankan. Sedangkan pengertian DPS menurut Peraturan Bank Indonesia No. 06/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dalam pasal 1 ayat 10 menyatakan dewan pengawas syariah merupakan dewan yang melakukan pengawasan terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha bank. Berdasarkan berbagai pengertian tersebut di atas maka DPS merupakan badan independen internal yang berfungsi untuk melakukan pengawasan atas kepatuhan aturan dan prinsip – prinsip syariah dalam keseluruhan aspek operasional bank syariah.
Dewan Pengawas Syariah memiliki nilai peranan penting bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Ada tiga alasan penting DPS mempunyai peran penting dalam bank syariah antara lain :
1. menentukan tingkat kredibilitas bank syariah
2. unsur utama dalam menciptakan jaminan kepatuhan syariah (shari'a compliance assurance)
3. salah satu pilar utama dalam pelaksanaan good corporate governance (GCG) bank syariah
Sehingga peran dan fungsi DPS dalam bank syariah harus dipertahankan keberadaannya, diperkuat kedudukannya, dan dioptimalkan fungsi serta perannya dalam pengawasan syariah untuk menciptakan perbankan syariah Indonesia yang sehat, efesien, dan sesuai dengan prinsip serta aturan syariah.

B. TUGAS DAN FUNGSI DPS

Di Indonesia anggota DPS diajukan oleh manajemen bank syariah ke Bank Indonesia untuk memperoleh persetujuan Bank Indonesia, kemudian akan ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional setelah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. Jumlah anggota DPS berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 adalah minimal 2 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang, sedangkan berdasarkan AAOIFI dalam GSIFI No. 1 keanggotaan DPS minimal 3 orang.
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions menjelaskan dalam GSIFI No.1 bahwa anggota DPS harus ditunjuk dalam RUPS tahunan bank syariah berdasarkan rekomendasi dari dewan direksi sebagai bahan pertimbangan bagi RUPS untuk menetapkan dan mensyahkan anggota DPS, serta RUPS juga memiliki kekuasan untuk memberhentikan anggota DPS berdasarkan rekomendasi dari dewan direksi. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) juga mempunyai kekuasan untuk menetapkan gaji bagi anggota DPS.
Dewan Pengawas Syariah sebagai lembaga internal pengawas syariah independen harus beranggotakan ahli syariah yang memiliki pengetahuan tentang hukum dagang positif dan terbiasa dengan kontrak-kontrak bisnis. Menurut AAOIFI dalam GSIFI No. 1 bahwa anggota DPS merupakan orang yang ahli dalam fiqih muamalah dan memiliki pemahaman dalam bidang lembaga keuangan syariah. Untuk menjaga independensi DPS maka anggota DPS harus bukan staff bank, ditunjuk oleh RUPS, dan memiliki sistem kerja serta tugas-tugas tertentu sebagaimana badan pengawas lainnya.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 6 tahun 2004 pasal 27, tugas, wewenang, dan tanggung jawab dewan pengawas syariah adalah :
a. memastikan dan mengawasi kesesuian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN
b. menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan bank
c. memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank
d. mengkaji jasa dan produk baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN
e. menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap enam bulan kepada direksi, komisaris, DSN, dan Bank Indonesia.
Sedangkan menurut Arifin (2005:107) ada tiga fungsi yang harus dijalankan oleh DPS antara lain :
1. sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah dan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan syariah
2. sebagai mediator antara bank dan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari bank yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN
3. sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada bank syariah. DPS wajib melaporkan kegiatan usaha serta perkembangan bank syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun.
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution menjelaskan dalam GSIFI No. 1 paragraf 2 bahwa tugas dari DPS adalah mengarahkan, menilai, dan mengawasi seluruh aktivitas institusi keuangan Islam untuk memastikan aktivitasnya sesuai prinsip dan aturan syariah
“...directing, reviewing and supervising the activities of Islamic Financial Institution in order to ensure that they are in compliance with Islamic Shari’a Rules and Principles…”

Jadi secara umum tugas dan fungsi dari dewan pengawas syariah dalam bank syariah adalah melakukan pengawasan dan pengarahan atas aktivitas bank syariah agar sesuai dengan aturan dan prinsip syariah yang ditetapkan dalam fatwa-fatwa DSN, serta melaporkan hasil pengawasannya kepada Dewan Syariah Nasional.
Dewan pengawas syariah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya akan dibantu oleh internal shari’a review yang dilakukan oleh internal auditor untuk menilai kepatuhan bank syariah atas prinsip-prinsip dan aturan syariah (Asri dan Fahmi, 2003). Dewan pengawas syariah akan memberikan arahan dan perintah-perintah kepada internal auditor untuk melaksanakan internal shari’a reiew, dan melaporkan hasil penilaian dan pengujiannnya kepada dewan pengawas syariah. Dalam hal ini internal auditor berfungsi untuk menjembatani komunikasi antara DPS dan manajemen dalam melakukan kontrol atas seluruh aktivitas bank agar sesuai dengan prinsip-prinsip dan aturan syariah.

C. DPS DAN SHARI'A COMPLIANCE ASSURANCE

Makna kepatuhan syariah dalam bank syariah secara konsep sesungguhnya adalah penerapan prinsip – prinsip Islam, syariah, dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait (Arifin, 2005:2) secara konsisten, dan menjadikan syariah sebagai kerangka kerja bagi sistem dan keuangan bank syariah dalam alokasi sumberdaya, manajemen, produksi, aktivitas pasar modal, dan distribusi kekayaan (Bahrain Monetary Agency, 2002:14). Kepatuhan syariah dalam operasional bank seharusnya meliputi produk, sistem, teknik, dan identitas perusahaan bukan hanya produk saja (Hakim, 2002). Karena syariah memberikan arahan bagi sistem dan keuangan bank syariah dalam alokasi sumberdaya, manajemen, produksi, aktivitas pasar modal, dan distribusi kekayaan (Bahrain Monetary Agency, 2002:14). Oleh karena itu budaya perusahaan, yang meliputi pakaian, dekorasi, dan imej perusahaan, juga merupakan salah satu aspek kepatuhan syariah dalam bank syariah yang bertujuan untuk menciptakan suatu moralitas dan spiritualitas kolektif yang apabila digabungkan dengan produksi barang dan jasa akan menopang kemajuan dan pertumbuhan jalan hidup yang Islami (Alqaoud dan Levis, 2003:238).
Sedangkan makna kepatuhan syariah secara operasional (praktis) adalah kepatuhan kepada fatwa DSN karena fatwa DSN merupakan perwujudan prinsip dan aturan syariah yang harus ditaati dalam perbankan syariah di Indonesia. Sehingga segala fatwa yang dikeluarkan oleh DSN menjadi acuan kerja bagi DPS yang memiliki daya laku dan daya ikat yang kuat dalam penerapan prinsip dan aturan syariah di bank syariah (Prasetyo, 2005:59). Bank Indonesia sebagai pemegang kebijakan perbankan di Indonesia telah menjadikan fatwa DSN sebagai hukum positif bagi perbankan syariah artinya fatwa DSN menjadi peraturan Bank Indonesia yang mengatur aspek syariah bagi perbankan syariah di Indonesia. Tujuan formalisasi fatwa DSN menjadi peraturan Bank Indonesia dalam aspek kepatuhan syariah adalah untuk menciptakan keseragaman norma – norma dalam aspek syariah untuk keseluruhan produk bank (Bank Indonesia, 2006:2), oleh karena itu standar utama kepatuhan syariah bagi DPS dalam tataran praktis adalah fatwa DSN yang bersifat mengikat bagi DPS di setiap bank syariah dan menjadi dasar tindakan hukum bagi pihak – pihak terkait (Arifin, 2005:107).
Jaminan kepatuhan syariah (shari’a compliance assurance) atas keseluruhan aktivitas bank syariah merupakan hal yang sangat penting bagi nasabah dan masyarakat (Ilyas, 2004). Ada beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran secara kualitatif untuk menilai kepatuhan syariah dalam bank syariah antara lain :
1. Akad atau kontrak yang digunakan untuk pengumpulan dan penyaluran dana sesuai dengan prinsip-prinsip dan aturan syariah yang berlaku
2. Dana zakat dihitung dan dibayar serta dikelola sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip syariah
3. Seluruh transaksi dan aktivitas ekonomi dilaporkan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi syariah yang berlaku
4. Lingkungan kerja dan corporate culture sesuai dengan syariah
5. Bisnis dan usaha yang dibiayai tidak bertentangan dengan syariah
6. Terdapat dewan pengawas syariah sebagai pengarah syariah atas keseluruhan aktivitas operasional bank syariah
7. Sumber dana berasal dari sumber dana yang sah dan halal menurut syariah
Indikator – indikator tersebut di atas merupakan prinsip – prinsip umum yang menjadi acuan umum bagi manajemen bank syariah dalam mengoperasikan bank syariah. Kepatuhan syariah dalam operasional bank syariah dinilai berdasarkan indikator – indikator tersebut di atas, yaitu apakah operasional bank telah dilaksanakan sesuai dengan indikator umum kepatuhan syariah tersebut.
Prof. Rifaat Karim, Sekertaris Jendral IFSB, menyebutkan ada tiga model pengawasan syariah oleh DPS yang diwujudkan dalam bentuk organisasi DPS yaitu :
a. model penasihat, yaitu : menjadikan pakar-pakar syariah sebagai penasiha semata dan kedudukannya dalam organisasi adalah sebagai tenaga part time yang datang ke kantor jika diperlukan
b. model pengawasan, yaitu : adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh beberapa pakar syariah terhadap bank syariah dengan secara rutin mendiskusikan masalah-masalah syariah dengan para pengambil keputusan operasional maupun keuangan organisasi
c. model departemen syariah, yaitu : model pengawasan syariah yang dilakukan oleh departemen syariah. Dengan model ini para ahli syariah bertugas full time, didukung oleh staf teknis yang membantu tugas-tugas pengawasan syariah yang telah digariskan oleh ahli syariah departemen tersebut.
Selain ketiga model di atas, ada model variasi atas model departemen syariah (Yaya, 2004) yaitu dengan memperluas tugas dan ruang lingkup departemen internal audit dengan memasukan aspek syariah. Departemen internal audit bank syariah akan menjadi fungsi pendukung DPS dalam melaksanakan tugas-tugas pengawasan syariah. Sehingga departemen internal audit akan bekerja berdasarkan panduan DPS untuk hal-hal yang berkaitan dengan aspek syariah dan melaporkan temuan-temuannya dalam aspek syariah kepada DPS.

D. AKTIVITAS DPS DALAM PENGAWASAN INTERNAL SYARIAH

Aktivitas dewan pengawas syariah dalam melaksanakan pengawasan syariah, menurut Briston dan Ashker yang dikutip oleh Yaya (2004), ada tiga yaitu : ex ante auditing, ex post auditing, dan perhitungan dan pembayaran zakat. Ex ante auditing merupakan aktivitas pengawasan syariah dengan melakukan pemeriksaan terhadap berbagai kebijakan yang diambil dengan cara melakukan review terhadap keputusan-keputusan manajemen, dan melakukan review terhadap seluruh jenis kontrak yang dibuat oleh manajemen bank syariah dengan semua pihak. Tujuan pemeriksaan tersebut untuk mencegah bank syariah melakukan kontrak yang melanggar prinsip-prinsip syariah. Ex post auditing merupakan aktivitas pengawasan syariah dengan melakukan pemeriksaan terhadap laporan kegiatan (aktivitas) dan laporan keuangan bank syariah. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menelusuri kegiatan dan sumber-sumber keuangan bank syariah yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Perhitungan dan pembayaran zakat merupakan aktivitas pengawasan syariah dengan memeriksa kebenaran bank syariah dalam menghitung zakat yang harus dikeluarkan dan memerikasa kebenaran dalam pembayaran zakat sesuai dengan ketentuan syariah. Tujuan pemeriksaan tersebut adalah untuk memastikan agar zakat atas segala usaha yang berkaitan dengan hasil usaha bank syariah telah dihitung dan dibayar secara benar oleh manajemen bank syariah.
Shari'a review merupakan aktivitas utama dewan pengawas syariah untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengawas kepatuhan syariah dalam operasional bank syariah. Tujuan utama shari'a review adalah untuk memastikan kesesuaian seluruh operasional bank dengan prinsip dan aturan syariah yaitu dengan mengeluarkan fatwa – fatwa, aturan – aturan, dan arahan – arahan dalam masalah fiqih yang digunakan pedoman bagi manajemen dalam mengoperasikan bank syariah (GSIFI No. 2 paragraf 1). Pengertian tentang shari’a review berdasarkan GSIFI No. 2 paragraf 3 adalah :
“Shari’a review is an examination of the extent of IFI’s compliance, in all its activities, with sharia. This examination includes contracts, agreements, policies, products, transactions, memorandum and articles of association, financial statements, reports (espicially internal audit and central bank inspection) circulars etc.
Shari’a review merupakan pengujian kepatuhan syariah secara menyeluruh terhadap aktivitas bank syariah, sehingga dewan pengawas syariah harus memiliki akses yang lengkap dan bebas atas semua dokumen transaksi dan semua informasi yang berasal dari berbagai sumber baik itu saran dari para ahli maupun dari karyawan bank sendiri. Tujuan dari shari’a review adalah untuk memastikan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh bank syariah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan aturan syariah yang telah difatwakan dan diatur oleh dewan syariah (GSIFI No. 2 paragraf 4). Sehingga dengan dilakukan shari’a review diharapkan semua aktivitas dan produk bank syariah dapat dipastikan sesuai dengan aturan dan prinsip syariah yang telah ditetapkan dan diatur oleh dewan pengawas syariah.
Tanggung jawab dewan pengawas syariah dalam masalah kepatuhan syariah adalah memberikan opini atas kepatuhan syariah dari bank syariah serta memberikan arahan, petunjuk, dan pelatihan yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap prinsip syariah kepada manajemen bank syariah. Sedangkan tanggung jawab atas pelaksanaan kepatuhan syariah berada di pihak manajemen bank syariah. Shari’a review bukan merupakan tanggung jawab manajemen, tetapi juga tidak membebaskan manajemen dari kewajiban untuk melaksanakan semua transaksi berdasarkan syariah. Manajemen bank syariah bertanggung jawab untuk memberikan semua informasi yang berkaitan dengan kepatuhan syariah kepada dewan pengawas syariah (GSIFI No. 2 paragraf 5).
Governance Standard for Islamic Financial Institutions No. 2 dalam paragraf 7 menyebutkan tiga prosedur dalam pelaksanaan shari’a review yaitu planning review procedures, executing review procedure and review of working papers, dan documenting conclusions and report. Planning review procedures bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh atas operasi bank syariah yang meliputi produk, skala operasi, lokasi, kantor cabang, anak perusahaan dan divisi, serta bertujuan untuk memperoleh daftar semua fatwa, aturan, dan petunjuk yang dikeluarkan oleh dewan pengawas syariah. Sedangkan executing review procedure and review of working papers bertujuan untuk menemukan temuan audit dengan melakukan serangkaian pengujian atas transaksi dan dokumen serta mendokumentasikan semua prosedur audit yang telah dilakukan selama pemeriksaan. Hasil shari’a review adalah berupa kesimpulan dari dewan pengawas syariah atas kepatuhan bank syariah terhadap aturan dan prinsip-prinsip syariah. Kesimpulan tersebut dibuat dalam laporan dewan pengawas syariah yang akan disampaikan dalam rapat umum pemegang saham bank syariah. Laporan hasil shari’a review tersebut juga harus diterbitkan bersamaan dengan penerbitan laporan keuangan pihak manajemen bank syariah kepada masyarakat (GSIFI No.2 paragraf 13).
Aktivitas shari'a review dalam praktek pengawasan internal syariah oleh DPS terbagi menjadi dua bagian yaitu aktivitas ex ante auditing dan ex post auditing. Untuk aktivitas shari'a review ex ante auditing antara lain :
1. menetapkan standar kepatuhan syariah
2. menetapkan sistem dan prosedur operasional
3. mereview kebijakan dan keputusan manajemen
4. menetapkan produk bank.
Sedangkan aktivitas shari'a review ex post auditing yang dilaksanakn DPS dalam menjalankan fungsi pengawasan syariah antara lain :
1. menentukan indikator kepatuhan syariah
2. menentukan lingkup pengawasan syariah
3. merencanakan mekanisme penilaian kepatuhan syariah
4. menilai kepatuhan syariah atas kinerja manajemen
5. tindak lanjut atas temuan syariah
6. melaporkan hasil penilaian kepatuhan syariah

E. OPTIMALISASI PERAN DAN FUNGSI DPS

Peran vital dewan pengawas syariah di Indonesia, dalam praktik di lapangan saat ini, belum optimal. Ada beberapa faktor utama penyebab peran dan fungsi dewan pengawas syariah belum optimal di Indonesia antara lain :
1. lemahnya status hukum hasil penilaian kepatuhan syariah oleh DPS akibat ketidakefektifan dan ketidakefesienan mekanisme pengawasan syariah dalam perbankan syariah di Indonesia saat ini
2. terbatasnya ketrampilan sumberdaya DPS dalam masalah audit, akuntansi, ekonomi, dan hukum bisnis
3. belum adanya mekanisme dan struktur kerja yang efektif dari DPS dalam melaksanakan fungsi pengawasan internal syariah dalam bank syariah
Akibat dari ketiga faktor tersebut menjadikan peran supervisi dari DPS dalam pengawasan syariah di bank syariah termaginalkan. Sehingga peran DPS di Indonesia pada saat ini lebih banyak berperan sebagai penasehat syariah bagi manajemen, alat komunikasi dan marketing bagi bank syariah, dan sebagai legislator produk bank syariah. Fungsi pengawasan terhadap proses operasional yang merupakan aktivitas shari'a review ex post auditing jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan oleh DPS, karena aktivitas shari'a review terfokus pada aktivitas ex ante auditing.
Salah satu alternatif untuk mengoptimalkan peran dewan pengawas syariah dalam bank syariah di Indonesia adalah dengan mengembangkan fungsi pendukung dewan pengawas syariah berupa staf yang memadai untuk membantu DPS melaksanakan tugas-tugas pengawasan (Yaya, 2004). Accounting and Audting Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) dalam Governance Standard for Islamic Financial Institutions (GSIFI) No. 1 tentang Shari’a Supervisory Board : Appoitment, Composition and Report, paragraf 7, menyatakan bahwa dewan pengawas syariah dapat mencari jasa konsultan yang ahli dalam bisnis, ekonomi, hukum, akuntansi dan lainnya. Dewan pengawas syariah dalam melakukan tugas pengawasan dan sharia review terhadap bank syariah berdasarkan GSIFI No. 1 tersebut dapat menggunakan jasa internal auditor yang ada dalam sistem pengawasan bank syariah, yaitu dengan memperluas ruang lingkup dan tugas departemen internal audit dengan memasukkan aspek syariah. Internal auditor akan melakukan internal shari’a review berdasarkan panduan dewan pengawas syariah dan melaporkan temuan-temuan selama internal shari’a review kepada dewan pengawas syariah.

F. PENUTUP

Kredibilitas suatu bank syariah sangat ditentukan oleh tingkat kredibilitas DPS dalam masalah kinerja, independensi, dan kompetensi. Sehingga peran dan fungsi DPS harus dioptimalkan dalam pengawasan internal syariah untuk membangun jaminan kepatuhan syariah bagi seluruh stakeholder bank syariah di Indonesia. Langkah optimaslisasi peran dan fungsi DPS dalam pengawasan internal syariah adalah dengan memperbaiki lingkungan eksternal dan internal DPS. Perbaikan lingkungan eksternal DPS menjadi tanggungjawab utama BI sebagai regulator yaitu menciptakan mekanisme pengawasan syariah yang efektif dan efesien sehingga terbentuk perbankan syariah Indonesia yang sehat, efesien, dan sesuai syariah. Sedangkan tanggung jawab perbaikan lingkungan internal DPS menjadi tanggung jawab DPS dan manajemen bank syariah untuk menciptakan sistem jaminan kepatuhan syariah yang efesien dan efektif untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah.

PERLUKAH DEWAN PENGAWAS SYARIAH DI OPZ ?

Realitas OPZ (Organisasi Pengelola Zakat) di Indonesia, dari sekian puluh OPZ yang beroperasi tidak semua memiliki dewan pengawas syariah dalam struktur organisasinya. Hal tersebut terjadi karena tidak ada aturan hukum di Indonesia yang mewajibkan adanya dewan syariah dalam struktur OPZ. Undang-undang Zakat maupun Undang-undang Yayasan yang menjadi landasan hukum OPZ, tidak mengatur dan mewajibkan adanya dewan syariah dalam struktur OPZ. Serta belum adanya standarisasi struktur organisasi dan manajemen operasional OPZ di Indonesia menyebabkan keberadaan dewan pengawas syariah dalam OPZ masih menjadi kebijakan pilihan bagi OPZ. Keberadaan dewan pengawas syariah dalam OPZ juga belum menjadi sebuah kriteria bagi pemerintah dalam menetapkan OPZ sebagai lembaga amil zakat. Semestinya dewan pengawas syariah merupakan suatu institusi penting yang tidak bisa diabaikan dari setiap entitas ekonomi dalam masyarakat Islam utamanya dalam OPZ.
Yusuf Qordowi dalam bukunya tentang Hukum Zakat menyatakan bahwa salah satu syarat amil zakat adalah memahami hukum-hukum zakat. Syarat tersebut menjadi hal yang paling penting karena bila amil zakat tidak mengetahui hukum-hukum zakat maka tidak akan dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan akan lebih banyak berbuat kesalahan. Syarat tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa dalam struktur Organisasi OPZ harus ada dewan pengawas syariah atau institusi internal OPZ yang berfungsi memberikan pemahaman dan pembekalan serta pengarahan bagi personil OPZ tentang hukum-hukum zakat dalam menjalankan tugas sebagai amil zakat, juga sebagai pengawas internal untuk memastikan bahwa pengelolaan OPZ telah sesuai dengan prinsip dan aturan syariah. Jadi keberadaan dewan pengawas syariah dalam struktur OPZ menjadi hal yang sangat penting dan menjadi syarat utama untuk menilai layak atau tidaknya OPZ untuk dapat disebut sebagai amil zakat yang profesional, amanah, dan sesuai dengan syariah, karena adanya dewan pengawas syariah dalam OPZ secara inherent merupakan wujud terpenuhinya salah satu syarat menjadi lembaga amil zakat.
Keberadaan dewan pengawas syariah dalam struktur OPZ akan memberikan kepastian dan keyakinan publik bahwa OPZ telah memahami hukum-hukum zakat dan telah memenuhi syarat untuk menjadi amil zakat. Adanya dewan pengawas syariah dalam OPZ memberikan signal kepada publik bahwa ada kontrol syariah yang menjaga agar dana zakat dikelola sesuai dengan kaidah hukum zakat. Sehingga akan memberikan rasa aman bagi publik bahwa personil OPZ tidak akan salah dalam mengelola dana zakat, karena ada proses pendidikan dan pengawasan syariah bagi personil OPZ untuk memahami hukum-hukum zakat dan mengelola dana zakat. Maka bagaimana kontrol syariah dan proses pemahaman tentang hukum zakat kepada personil OPZ dilakukan jika OPZ tidak memiliki dewan pengawas syariah atau institusi yang serupa ? Dan bagaimana publik memperoleh keyakinan dan kepastian bahwa personil OPZ telah memahami hukum-hukum zakat jika tidak ada dewan pengawas syariah sebagai salah satu wujud syarat sebagai amil zakat ?
Keberadaan dewan pengawas syariah dalam struktur OPZ sebagai cara merealisasikan syarat menjadi amil zakat memiliki dua fungsi yaitu sebagai media pendidikan dan media kontrol. Sebagai media pendidikan, dewan pengawas syariah berfungsi memberikan pelatihan dan pendidikan serta pemahaman tentang hukum-hukum zakat kepada personil OPZ. Fungsi tersebut berperan untuk memberikan rambu-rambu syariah dan meningkatkan kualitas personil OPZ sebagai amil zakat, juga sebagai tindakan preventif agar tidak terjadi kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan sebagai amil zakat. Semakin tinggi pemahaman personil OPZ tentang hukum zakat maka semakin mencegah personil OPZ berbuat kesalahan dalam melaksanakan tugas sebagai amil zakat. Sebagai media kontrol, dewan pengawas syariah berfungsi untuk menilai dan mengevaluasi serta mengarahkan seluruh aktivitas personil OPZ sebagai amil zakat sesuai dengan hukum-hukum zakat. Fungsi tersebut penting untuk mencegah terjadinya penyimpangan syariah baik secara organisatoris maupun individu personil OPZ.
Selain sebagai wujud syarat sebagai amil zakat, keberadaan dewan pengawas syariah dalam OPZ memiliki nilai penting dalam mewujudkan good corporate governance dan Islamic corporate culture dalam OPZ. Keberadaan dewan pengawas syariah dalam struktur OPZ merupakan wujud akuntabiltas kepada publik bahwa dana zakat telah dikelola seseuai dengan hukum-hukum zakat. Karena itu dewan pengawas syariah harus memberikan opini syariah atas pengelolaan dana zakat oleh OPZ. Dewan pengawas syariah merupakan institusi dalam OPZ yang berperan penting untuk mengarahkan seluruh aktivitas personil OPZ dalam bentuk nasehat, fatwa, dan pandangan-pandangan syariah atas kebijakan-kebijakan manajemen operasional OPZ. Maka secara langsung maupun tidak langsung keberadaan dewan pengawas syariah dalam OPZ akan menumbuhkan dan membentuk lingkungan kerja yang Islami baik sosial maupun fisik dalam OPZ. Sehingga OPZ akan memiliki karakteristik budaya kerja yang berbeda dengan organisasi nirlaba lainnya dan memberikan nuansa reliqious bagi setiap orang yang memasuki kantor OPZ
Ada dua hal yang bisa memotivasi OPZ-OPZ di Indonesia untuk menempatkan dewan pengawas syariah dalam struktur organisasinya. Pertama, pemerintah harus menjadikan keberadaan dewan pengawas syariah dalam struktur OPZ sebagai kriteria pokok bagi OPZ untuk dapat ditetapkan sebagai lembaga amil zakat nasional atau provinsi. Saat ini OPZ di Indonesia berupaya untuk meningkatkan status kelembagaannya sebagai amil zakat karena dorongan untuk meningkatkan jangkauan pelayanannya. Semakin luas jangkauan wilayahnya maka semakin komplek permasalahannya dan semakin besar pertanggungjawabannya kepada publik, sehingga keberadaan dewan pengawas syariah dalam OPZ menjadi satu hal yang logis untuk sebagai syarat utama peningkatan status OPZ. Kedua, melakukan sertifikasi dan standarisasi terhadap aspek struktur dan manajerial OPZ yaitu keberadaan dewan pengawas syariah menjadi salah satu aspek kritiria pelaksanaan good corporate governance oleh OPZ. Akuntabiltas kepada publik dalam masalah kesesuaian syariah menjadi hal yang pokok bagi OPZ, oleh karena itu keberadaan dewan pengawas syariah dalam OPZ akan memberikan jaminan kepatuhan syariah kepada masyarakat. Begitu juga opini syariah dari dewan pengawas syariah tentang operasional OPZ akan meningkatkan akuntabilitas OPZ kepada publik selain opini dari auditor eksternal.
Jadi, keberadaan dewan pengawas syariah dalam OPZ secara inherent merupakan sesuatu yang harus ada dan melekat secara langsung dalam struktur OPZ, karena merupakan wujud terpenuhinya syarat sebagai amil zakat, meskipun aturan hukum di Indonesia yang mengatur OPZ tidak mewajibkan adanya dewan pengawas syariah. Keberadaan dewan pengawas syariah dalam struktur OPZ akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada OPZ karena memberikan jaminan atas pengelolaan dana zakat sesuai dengan hukum-hukum zakat, dan memberikan keyakinan bahwa personil OPZ layak sebagai amil zakat serta mendorong OPZ untuk menciptakan good corporate governance. Semakin tingginya kepercayaan masyarakat kepada OPZ akan semakin mendorong masyarakat untuk menyalurkan dana zakat dan infaq melalui OPZ bukan secara perorangan lagi. Kepercayaan tersebut harus dibangun melalui akuntabilitas publik baik sisi syariah maupun sisi pertanggungjawaban keuangan.

THE INTERNAL SHARI'A SUPERVISION ACTIVITIES

THE INTERNAL SHARI'A SUPERVISION ACTIVITIES
IN ISLAMIC BANK
(A Case Study at BPRS Bakti Makmur Indah Sidoarjo, Indonesia)

Abstract
The shari’a compliance is the major and basic aspect that differentiates Islamic bank from the conventional one. The Islamic bank must have an independent institution that is assigned to supervise the conformity of bank operational with Islamic shari’a rules and principles. The main role and function of shari’a supervisory board in Indonesia to conduct internal shari'a supervison is not optimum yet caused by organization and human resource factors. The research question of this research was “How does the internal shari'a supervison activities by shari’a supervisory board with internal audit function to create shari’a compliance in Islamic bank ?". The purposes of this research were to find efforts to maximize roles and functions of shari’a supervisory board and to find the formulation of integrated and effective mechanism of shari’a compliance supervision.
This research was a qualitative study using single case study approach. The object of the study was PT BPRS Bakti Makmur Indah Sidoarjo, and the respondents of the study were chairman and members of shari’a supervisory board, internal auditor, and operational management director. This research was more focused on shari’a supervisory board and internal audit activities in conducting direction and supervision of shari’a compliance in Islamic bank. This research was conducted through four steps study, i.e. the holistic exploration, focused exploration, confirmation, and data interpretation.
The result of this research showed three general phenomena i.e. 1) the control of Shari‘a compliance was based on trustworthy between shari’a supervisory board and management, 2) there were two level of shari’a compliance that must be applied by the bank operational i.e. compliance toward fatwas of national shari'a board and compliance toward Islamic shari'a rules and principles, and 3) shari’a supervisory board merely held passive review, and played as shari’a consultation media toward the management instead of the reviewer or shari’a compliance controller. One alternative to maximize the role and function of shari’a supervisory board is by creating an integrated internal shari'a supervision mechanism between shari’a supervisory board and internal audit function to develop an effective shari’a compliance control mechanism in Islamic banks.

Keywords : shari’a compliance, shari’a supervision, shari’a supervisory
board, internal audit.