Thursday, April 8, 2010

KENAPA BANK SYARIAH KALAH BERSAING ?

Bank syariah di Indonesia sejak tahun 2000 -an telah menjadi satu industri keuangan yang sedang tumbuh berkembang dan menarik perhatian investor dan masyarakat. Perkembangan bank syariah untuk saat ini di Indonesia hanya sebatas pada bertambahnya bank umum syariah dan unit usaha syariah, tidak diimbangi dengan berkembangnya market share-nya. Target market share 5% pada tahun 2008 ternyata tidak tercapai, sampai awal tahun 2010 market share bank syariah hanya sekitar 2% saja. Fenomena ini menunjukkan bahwa bank syariah masih kalah bersaing dengan bank konvensional.
Bank syariah sebagai satu industri baru sebenarnya memiliki keunggulan bersaing dengan bank konvensional, baik keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Pada awal berkembangnya bank syariah di Indonesia keunggulan komperatif bank syariah lebih menonjol dibandingkan bank konvensional sehingga sebagai suatu produk keuangan baru memiliki daya tarik yang cukup kuat bagi konsumen. Perkembangan selanjutnya bank syariah berupaya untuk membangun keunggulan kompetetifnya agar bisa menarik konsumen lebih banyak lagi. Saat target market share 5% dicanangkan pada tahun 2008, bank syariah berupaya untuk membangun keunggulan kompetitifnya, meskipun pada akhirnya bank syariah belum bisa mencapai target market share 5% tersebut sampai tahun 2010.
Kegagalan bank syariah mencapai target market share 5% merupakan gejala bahwa bank syariah masih kalah bersaing dengan bank konvensional. Ketidakmampuan bank syariah dalam bersaing dengan bank syariah disebabkan tidak terkelolanya dengan baik keunggulan komperatif dan kompetitif yang dimiliki bank syariah. Kondisi tersebut disebakan oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah regulasi Bank Indonesia, hukum positif, dan masyarakat. Bank Indonesia dalam membuat regulasi untuk bank syariah tidak memperhatikan karakteristik khas bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional, banyak aturan-aturan BI untuk bank konvensional diberlakukan pula untuk bank syariah, misalkan tentang kebijakan PPAP Aktiva Produktif dan Non Produktif, serta aturan dan kebijakan tentang manajemen resiko di bank syariah banyak mengacu pada aturan-aturan bank konvensional. Begitu juga jika kita melihat Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 4 ayat 1 masih menyamakan bank syariah dengan bank konvensional, yaitu sebagai lembaga penyalur dan penghimpun dana semata sehingga karakteristik dan filosofi bank syariah tereliminasi. Hukum perdata pun masih sering bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum syariah, dan seringkali perbankan syariah masih mengutamakan hukum perdata dalam pembuatan akta notaries atau pencampuran antara hukum perdata dan hukum syariah sehingga ke-uniq-an bank syariah menjadi hilang..
Masyarakat secara tidak langsung juga menyebabkan keunggulan komperatif dan kompetitif bank syariah menjadi lemah. Masyarakat dalam menggunakan jasa perbankan syariah masih berperilaku sama seperti saat menggunakan jasa perbankan konvensional. Kondisi tersebut mendorong bagian pemasaran bank syariah dalam memasarkan produknya menyamakan dengan bank konvensional sebagai upaya simplikasi untuk memahamkan suatu produk bank syariah kepada nasabah. Seharusnya pengenalan produk bank syariah kepada masyarakat harus diiringi dengan proses edukasi kepada masyarakat untuk mengubah perilakunya saat menggunakan jasa dan produk bank syariah, sehingga keunggulan komperatif dan kompetitif bank syariah akan nampak.
Faktor internal yang menyebabkan keunggulan komperatif dan kompetitif bank syariah melemah adalah manajemen bank syariah itu sendiri. Secara umum manajemen bank syariah masih menggunakan pola-pola manajemen bank konvensional. Hal tersebut terjadi karena banyak aturan dan kebijakan Bank Indonesia untuk bank syariah yang mengacu dengan bank konvensional. Penentuan margin, fee, dan nisbah bank syariah masih menggunakan tingkat suku bunga sebagai indikator pembanding bagi manajemen bank syariah dalam membuat keputusan ekonomis. Manajemen bank syariah sendiri banyak mengukur kinerjanya dengan membandingkan kinerja bank konvensional terutama membandingkan imbal jasa simpanan bank syariah dengan bank konvensional.



Bank Syariah: Follower and Price Taker
Akibat kedua kondisi tersebut menyebabkan bank syariah hanya akan menjadi follower dan price taker semata. Peraturan dan kebijakan BI untuk bank syariah selama ini mendorong manajemen bank syariah untuk melakukan pengelolaan bank syariah sesuai dengan standar-standar kinerja bank konvensional, akibatnya bank syariah akan senantiasa mengacu dan meniru bank konvensional. Kondisi tersebut akan senantiasa menjadikan bank syariah sebagai follower bank konvensional yang telah menjadi market leader dalam industri keuangan, padahal bank syariah dengan keunikan dan karakteristik khas-nya bisa menjadi challenger bagi bank konvensional untuk merebut pangsa pasar dalam industri keuangan. Selama bank syariah ditempatkan sebagai follower maka bank syariah tidak akan bisa mengungguli bank konvensional, kalau pun bisa akan membutuhkan usaha yang besar agar keunggulan komparatif dan kompetitifnya nampak di mata konsumen.
Selain sebagai follower, bank syariah selama ini senantiasa menjadi price taker dalam persaingan dengan bank konvensional. Penetapan harga barang yang dijual ke nasabah melalau pembiayaan murabaha, penetapan fee sewa (ujrah), dan nisbah bagi hasil selalu menggunakan tingkat suku bunga sebagai dasar dan metode menetapan nilai pasar atas harga barang, ujrah, dan nisbah. Padahal selama ini tingkat suku bunga dikendalikan oleh bank-bank konvensional bukan oleh bank syariah. Akibatnya bank syariah hanya sekedar pengguna informasi bukan penghasil informasi yang dapat digunakan dalam menentukan nilai wajar pasar saat itu. Maka selama bank syariah hanya sebagai price taker bukan price maker dalam persaingan dengan bank konvensional maka bank syariah tidak akan bisa bersaing secara kompetitif dengan bank konvensional. Seharusnya bank syariah membentuk sistem informasi tersendiri yang terlepas dengan bank konvensional untuk digunakan sebagai dasar penetapan nilai pasar atas transaksi-transaksi jual beli, sewa, dan partnership.
Kembali Ke Jati Diri
Selama ini publik, pelaku, dan regulator masih berpresepsi bahwa bank syariah adalah “adik” dari bank konvensional. Sehingga segala sesuatu yang terkait dengan pengelolaan bank syariah masih mengacu pada ”sang kakak” yaitu bank konvensional. Padahal secara filosofi dasarnya bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Bank syariah bukan ”adik” bank konvensional tetapi satu institusi baru yang berbeda ”rahim” dengan bank konvensional. Maka seharusnya regulator harus menempatkan posisi bank syariah sesuai dengan karakteristik dan filosofi dasar bank syariah, yaitu dengan membuat dan menyusun kebijakan dan regulasi tentang bank syariah yang bersumber pada jati diri bank syariah sesungguhnya. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa banyak regulasi atau hukum positif yang berlaku dan mengatur bank syariah yang menyebabkan bank syariah kehilangan jati diri, dan mendorong manajemen bank syariah untuk ”berselingkuh” atau mengambil ”tikungan” untuk mensiasati perbedaan antara aturan syariah dan regulasi (hukum positif).
Jika pemerintah serius menjadikan bank syariah menjadi salah satu industri unggulan dalam bidang keuangan di Indonesia maka pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia harus berani melepaskan aturan-aturan perbankan konvensional yang berlaku di bank syariah, dan mengganti dengan aturan dan kebijakan yang sesuai dengan jati diri bank syariah. Selama bank syariah masih menggunakan aturan dan kebijakan yang berlaku di bank konvensional maka bank syariah akan ter”sandera” untuk tetap menjadi follower dan price taker sehingga tidak akan mampu bersaing dengan bank konvensional. Apakah itu yang diinginkan pemerintah...?
Waallahu’alam bisshowab.

2 comments:

yason taufik akbar said...

assalamualaikum,pak noven..saya mahasiswa ekonomi Islam unair 2007..
saya sangat setuju dengan beberapa alasan yang pak noven kemukakan tentang "kenapa bank syariah kalah bersaing"..namun yang saya pikirkan, apa tolak ukur lain yang dapat dijadikan acuan bank syariah dalam mengukur kinerjanya baik/biasa/buruk di mata masyarakat selain mengacu pada kinerja bank konvensional? krn kalau kinerja dimata BI,yang mengukur rasio2 dan lapkeuangan saja, tentunya tidak akan bisa diinformasikan ke masy awam..termasuk bila diukur oleh ukuran internal bank, spt tingkat DPK, FDR,besar nisbah,dll..

NOVEN SUPRAYOGI said...

Itulah tugas kita semua untuk memikirkan konsep ukuran kinerja yang tepat untuk bank syariah, saya rasa untuk rasio2 keuangan tidak ada masalah untuk dipakai selama tidak bertentangan dengan karakteristik dasar bank syariah, karena bank syariah bukan lembaga penyalur dana seperti bank konven secara filosofinya bank syariah adalah lembaga investasi, perdagangan, sewa menyewa. Ada beberapa ukuran bank syariah yang diadops langsung dg bank konven sehingga menyebabkan karakteristik khas bank syariah menjadi hilang, seperti kenapa musyarakah/mudharabah menjadi porsi terkecil dalam pembiayaan, itu disebabkan ada salah satu aturan BI yang menghambat implementasinya, mungkin bisa kita diskusikan lebih lanjut di departemen ekonomi syariah jika masih penasaran....salam sukses